Nge-bar!

"Ziz, nge-bar yuk!", ajak temen gue.
"Kuy!", balas gue. 

Tentu dalam bahasa italia. 

Eits, bagi beberapa orang Indonesia -- termasuk gue saat pertama kali tiba di Italia -- berpikiran bahwa bar adalah tempat yang 'hmm...'. Ngerti kah? Hal ini terbukti, kalau kita menggunakan google image dan mengetik: "Indonesian bar" di kolom searching engine-nya, foto yang keluar adalah.. Bisa dibayangkan sendiri. 

Jika di Indonesia, kata 'bar' identik dengan minuman mengandung etil alkohol, tempat hiburan, dan sebagainya, di Italia itu 'bar' adalah toko kopi, atau warkop lah istilahnya. Ngebayangin warkop italy kayak gimana? Bayangin aja starbucks, cuma bedanya gk ada caramel cream frappucino, gak ada green tea latte, gk ada 'americano'. 

Untuk panganan, berbagai macam jenis pastry umumnya ada. Mulai dari yang manis berisi krim kocok, vanilla, hingga nutella. Bahkan, pastry asin pun ada yang isinya saus dasar pizza (tomat) dan keju. Minuman di warkop ini juga bervariasi, mulai dari espresso, cappucino, segala macam kopi, apperitif, hingga hot chocolate yang bener-bener lumer dan mantab. 

Yups. Apperitif dan alkohol, wine dan beer memang ada di warkop-warkop sini. Tapi, ambience atau suasana bar disini bukan seperti tempat klub malam. Disini mengonsumsi minuman alkohol seperti itu bukan hal yang aneh. Tetapi, orang disini tau diri dan tau batasannya untuk mengonsumsi minuman tersebut. 

Nah, sebenernya yang ingin gua omongin adalah kemiripan warkop Italia dan warkop di Indonesia, yaitu sebagai tempat ngobrol. Orang Italy itu umumnya ceriwis, suka bercerita, suka ngobrol. Bahkan acap kali, gk tanggung-tanggung. Contoh: gua pernah sama host family makan di sebuah restoran pizza yang letaknya 15km dari kota. Kita makan bareng dengan temen host parents, dari jam 8 malam selesai sampe jam 12an. Bukannya pulang tuh, malah ke bar (warkop) buat duduk kongkow sambil ngopi/makan pastry-nya hingga larut malam. 

Bagi orang Italia sendiri, atau Eropa umumnya, eksistensi warkop sendiri sudah muncul sejak lama. Antara tahun 1660-1700, atau dikenal sebagai periode Restorasi Sastra, muncul banyak toko kopi-toko kopi yang menjadi tempat bertemunya para akademisi, politisi, pastor, hingga masyarakat awam. Mereka berkumpul untuk saling bertukar pendapat atau pandangan terhadap kebijakan pemerintah. Dari situ, topik-topik pembicaraan menjadi luas, meliputi hal-hal tentang keagamaan, sosial budaya, ekonomi dan lain-lainnya. Dari periode ini pula, akhirnya Richard Steele dan Joseph Addison mulai menulis jurnal/koran dan lain sebagainya. 

Intinya adalah, toko kopi sendiri bukanlah hal yang baru. Sama kan seperti di Indonesia? Dulu, masyarakat di Indonesia banyak yang ngumpul di warkop, beberapa warkop yang ada 'tv box berlayar kesemutan' dipake buat nonton bola rame-rame, ada juga warkop yang gk punya tv, alhasil 1 kotak radio dipake bareng-bareng ngedengerin detik-detik saat Susi Susanti dan Alan Budikusuma meraih medali emas di Olimpiade Barcelona tahun 1992. 

Hari ini bagaimana? Well, masih ada yang dateng ngumpul di warung kopi. Tapi, sekedar duduk minum kopi, terus pulang. Yang paling parah sih.. Duduk di Starbucks berjam-jam, beli minum 1 hanya untuk numpang wifi. Nonton bola, pertandingan dan lain-lain bisa dirumah. Gk ada yang salah sih. Gua kembalikan semuanya ke pendapat pembaca aja. 

Gua hanya merasakan kembali disini, fungsi toko kopi tahun 1700an itu seperti apa. :) 

-------------------------------
Catt: Gua berprasangka nih, untuk pembaca yang usianya dibawah 18 tahun, pasti penasaran, terus nyoba buka google image dan ngesearch indonesian bar. Husshhh... 

Comments