Sehari di Kota Abadi

Langit masih gelap dan belum ada lalu lalang orang di jalan umum. Hanya beberapa bar / coffeeshop yang baru buka ketika aku mulai melaju dengan sebuah mobil menuju bandara. Baru dua hari tiba di Sardegna setelah pulang dari dolanan ke Venezia. 

Hari ini, aku harus berangkat lagi ke Roma, meski akan kembali lagi malam di hari yang sama. Tujuanku ke Roma adalah untuk mengurus berkas visa yang aku ajukan ke pemerintah Inggris. Visa ini kuperlukan untuk dapat berpartisipasi dalam trip sekolah ke London yang akan dilaksanakan pada 29 Maret hingga 1 April 2017. 

Sekitar bulan November / Desember tahun 2016, aku diberitahukan bahwa school trip untuk kelasku akan mengunjungi London, dan sebagai bagian dari kelas tersebut, aku diperbolehkan untuk berpartisipasi. Namun, aku, warga negara Indonesia yang memegang paspor biasa diwajibkan untuk memiliki visa sebelum tiba di daratan Ratu Elizabeth. Sebab, hanya warga negara Indonesia dengan paspor diplomatik yang boleh masuk Britania Raya tanpa visa. Atau, ada juga kebijakan 24 jam bebas visa kepada warga Indonesia yang:
  • Melakukan transit dari/menuju Australia, Kanada, Selandia Baru atau Amerika Serikat
  • Pemegang izin tinggal / residence permit yang dikeluarkan pemerintah Australia, Kanada, Selandia Baru atau Amerika Serikat
  • Pemegang visa dari suatu negara yang tergabung dalam Uni Eropa ataupun Swiss. 
  • Pemegang visa yang keluarkan pemerintah Irlandia

Jika saja trip tersebut hanya berlangsung selama 1 hari, seperti teman-ku Odie, mungkin aku tidak perlu repot-repot pergi ke Roma. Dan tidak perlu repot-repot mengurus berkas serta mengisi form online. 

Jadi, proses mengajukan permohonan visa ke Pemerintah Inggris tidak begitu rumit, apalagi formulir pengisian sudah diterapkan secara online melalui situs disini. Semua informasi juga bisa ditemukan di website resmi Departemen Visa dan Imigrasi Inggris, mulai dari biaya visa, jenis-jenis visa, prosedur dan lain sebagainya. 

Pertama-tama, aku membuat akun untuk halaman tersebut. Akun ini memberikanku kemudahan untuk mengisi formulir, istirahat dan mengisi lagi di lain waktu. Aku menjawab sekitar 50 lebih pertanyaan dalam bentuk pilihan ganda, jawaban singkat maupun paragraf panjang. Pertanyaan yang ditanya juga berkaitan dengan data diri dan riwayat perjalanan selama beberapa tahun terakhir. Ketika semua sudah terisi dengan sejujur-jujurnya, aku diarahkan menuju halaman untuk memilih waktu dan tanggal terhadap appointment yang wajib dilakukan di kantor perwakilan Departemen Visa dan Imigrasi Inggris di Roma. Ketika waktu dan tanggal sudah diputuskan, step terakhir adalah pembayaran online. Pembayaran ini dilakukan di dunia maya dengan menggunakan kartu kredit, tidak di kantor Roma. 

Aku mengajukan visa jenis 'standard visitor' yang berlaku 6 bulan. Visa ini berlaku untuk para wisatawan, orang yang mengunjungi sanak saudara, ataupun untuk orang yang berobat. Pilihan jangka waktu visa jenis ini mulai dari yang terpendek 6 bulan, 1 tahun hingga beberapa tahun. Semakin lama masa berlakunya, maka biaya yang diperlukan juga semakin tinggi. Biaya 'standard visitor visa' untuk 6 bulan adalah 173 Euro. Kemudian aku membayar tambahan 30 Euro untuk biaya ekspedisi paspor dari kantor Roma menuju rumahku di Sardegna, hal ini guna menghemat waktu dan biaya lagi ketimbang aku harus mengambilnya lagi di kantor Roma ketika visa sudah selesai. 

Sebenarnya, dengan alasan 'urus visa' inilah aku mendapatkan kesempatan untuk jalan-jalan di Roma. Aku terbang menggunakan maskapai Alitalia dari Bandara Cagliari Elmas menuju Bandara Roma Fiumicino. Burung besi tersebut mendarat sekitar pukul 9.15 di pagi hari. Bandara Roma  Fiumicino terletak 28km di barat daya kota Abadi, Roma. Pada awalnya, Kantor AFS Italia Pusat mengatakan bahwa akan ada relawan yang menjemputku dibandara, menemaniku seharian dan mengantarkan-ku pulang. Namun sayang, sehari sebelum aku berangkat, kantor AFS mengabariku lagi bahwa tidak ada relawan yang bisa melakukan hal tersebut. Alhasil, aku akan benar-benar sendiri selama 11 jam di Ibu Kota Dunia tersebut.

Keluar dari ruang kedatangan yang berada di lantai dasar Terminal 1, aku langsung menggunakan jembatan penghubung antara 2 gedung, berjalan menuju Stasiun Kereta Api Roma Fiumicino. Tiket seharga 14 Euro untuk satu kali perjalanan sudah kubeli. Aku pun langsung bergegas ke kereta ku, Leonardo Express 3259. Leonardo Express merupakan rangkaian kereta yang khusus membawa penumpang dari Bandara Fiumicino ke Stasiun kota Roma Termini dalam waktu 30 menit.
Bandara Roma Fiumicino
Kereta mulai melaju lambat, memasuki pusat kota. Sejumlah gedung berlantai-lantai mulai nampak. Jarum jam menunjukkan pukul 10.25 ketika kereta benar-benar berhenti. Stasiun ini merupakan stasiun terbesar di kota Roma dan menghubungkannya dengan kota-kota lain di Italia. Pusat-pusat perbelanjaan serta sejumlah tempat makan memanjakan para pengguna jasa stasiun. Pagi itu, Jumat 17 Februari 2017, benar-benar padat.
Stasiun Roma Termini
Terminus Bus di Depan Stasiun Roma Termini
Mengingat appointment-ku di Kantor UKVI (United Kingdom Visa & Immigration) pada pukul 12.00, artinya masih sekitar 1,5 jam lagi, aku memutuskan untuk jalan-jalan tidak jauh dari stasiun. Nah, sudah lama aku rindu dengan salah satu mie instan produk negeri Ginseng, yang booming di Indonesia. Semalam sebelumnya, aku iseng bertanya di grup Perhimpunan Pelajar Indonesia di Italia tentang toko-toko Asia di dekat Stasiun Roma Termini. Teman-teman PPI pun memberikan rekomendasi.

Aku berjalan memasuki jalan Via Cavour. 5 blok dari Roma Termini, tepatnya dekat Obelisco Esquilino / Basilica Papale di Santa Maria Maggiore, terdapat sebuah korean market. Toko ini sangat kecil dan tidak memasang papan nama yang eyecatching. Hanya di pintu kacanya ditempelkan beberapa kata dalam bahasa Korea.

Masuk ke dalam toko kecil tersebut, berbagai macam produk-produk korea, mulai dari rumput laut, minuman dingin, gochu-jang, beragam mie instan dan jajanan tersusun rapi di etalasenya. Mirip seperti toko Shine Korea di Bras Basah Complex, Singapura. Aku melangkahkan kakiku mendekat ke bagian mie instan, dan mataku tertuju ke satu kemasan hitam. Satu bungkus-nya dibandrol harga 1.7 Euro (atau sekitar Rp. 25.000).
Mie Instan Favorit
Setelah membeli 12 kemasan, aku pun memutuskan untuk kembali ke stasiun. Bimbang mau jalan kemana lagi, atau nunggu dimana, aku pun berjalan ke arah Kantor UKVI yang terletak di Piazza Dei Siculi no. 14. Jarak dari stasiun ke Piazza Dei Siculi kurang lebih 1km menyusuri jalan Via Marsala dan Via del Ramni. Kantor UKVI di Roma dikelola oleh TLS Contact. TLS Contact merupakan perusahaan agen outsource resmi yang bekerja sama dengan sejumlah pemerintahan dalam pengurusan visa. Dalam hal ini, pemerintah Britania Raya menunjuk TLS Contact sebagai pengelola Kantor UKVI di Roma, namun, menunjuk agen lain, VFS sebagai pengelola di Indonesia.

Aku tiba di depan kantor UKVI sekitar jam 11.30, atau 30 menit lebih awal dari jadwal appointment tersebut. Kantor ini tidak begitu besar, berada dalam 2 ruko yang saling bersambungan. Pintu utama ku ketok dan keluarlah seorang security yang memegang papan appointment. Ia memintaku menunjukkan kartu appointment yang sudah kucetak setelah pembayaran form visa online. Kemudian, ia masuk kembali ke dalam, meninggalkan ku seorang diri di luar.

Hanya berselang 5 menit, ia mempersilahkanku masuk, meminta izin untuk memeriksa barang bawaanku berupa tas ransel dan 2 kresek mie instan. Semuanya ia lakukan dengan senyuman. Setelah semua beres, ia mengarahkanku ke sebuah kounter untuk mengecek ulang appointmentku. Pegawai yang duduk di sisi lain kounter kemudian meminta agar aku menunggu di kursi yang telah disediakan, sebelum melanjutkan ke proses selanjutnya. Selama di dalam, penggunaan telepon genggam dilarang.

Lagi-lagi, kurang dari 5 menit, aku masuk ke bagian lain kantor tersebut. Terdapat 4 bilik dimana seorang petugas akan memverifikasi form dan berkas-berkas yang akan diserahkan oleh pemohon. Kadang kala, petugas juga akan melakukan interview. Ia memintaku untuk membaca kembali nama, alamat dan nomor teleponku yang akan mereka gunakan untuk mengirim pasporku ketika semua proses sudah selesai.

Aku menyerahkan paspor asli dengan stiker visa pelajar di Italia, keduanya merupakan 2 dokumen wajib yang diminta oleh Departemen Visa dan Imigrasi. Aku juga melampirkan sejumlah dokumen yang bisa menjadi bahan pertimbangan lain oleh pemerintah dalam menyetujui permohonan visa-ku. Dokumen-dokumen tersebut adalah surat pengantar dari AFS Italia, surat keterangan dari sekolah, rekening koran selama 3 bulan terakhir, Declaration of Hospitality yang dikeluarkan oleh AFS, fotocopy kartu keluarga dan akta kelahiran yang masing-masing juga telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh penermah tersumpah.

Setelah proses verifikasi selesai, aku menuju proses terakhir yaitu pengambilan sidik jari dan foto. Semua proses, dari awal hingga akhir, hanya memakan waktu tidak lebih dari 30 menit. Ini sangat amat menggembirakan, ditambah lagi dengan pelayanan dari petugas-petugas di kantor tersebut.

Aku melihat layar ponselku untuk mengecek waktu. Pukul 12.10. Aku mulai berjalan kembali ke arah stasiun, dari situ aku akan membeli One Day Pass transportasi publik di Roma seharga 7 Euro yang memungkinkanku bepergian menggunakan metro, kereta regional, tram dan bus di kota roma selama 1 hari, unlimited.
Stasiun Metropolitana Bawah Tanah Termini
Kereta Metropolitana Line Biru
Dari stasiun metropolitana Termini, aku mengambil kereta bawah tanah rute Oranye ke stasiun Flaminio. Kemudian, di stasiun ini, aku berganti kereta ke kereta regional menuju stasiun Campo Sportivi. Tujuanku? Aku ingin menunaikan shalat jumat pertama kalinya setelah 5 bulan dan aku akan melakukannya di Rome Grand Mosque.
Tampak exterior masjid diambil dari lantai 2
Rome Grand Mosque ini terletak di daerah Parioli, Kota Roma. Masjid yang selesai dibangun pada tahun 1994 dengan luas 30.000m2 ini didesain oleh beberapa arsitek, termasuk Paolo Portoghesi, dan dapat menampung hingga 12.000 jemaah, menjadikannya sebagai masjid terbesar dunia barat. Ketika sampai, banyak orang sudah mulai memadati tempat shalat, meski adzan belum berkumandang. Khotbah dibawakan dalam bahasa Arab dan bahasa Italia secara bergantian. Sesekali aku menengok keindahan masjid tersebut, dan juga memperhatikan jemaahnya yang semua sedang duduk mendengarkan sang khatib berbicara. Ada kulit putih, ada kulit hitam, ada sawo matang. Semua berkumpul dengan niat yang sama dan atas perintah yang sama. Inilah keindahan shalat jamaah. Inilah keajaiban Islam.
Di dalam Masjid
Selesai shalat, aku keluar dan memasang kembali sepatuku. Tidak jauh dari tempat aku berdiri, ada sekumpulan orang-orang dengan perawakan yang mirip denganku. Terdengar sayup-sayup bahasa yang tidak asing di telingaku. Yups! Bahasa Indonesia. Aku pun akhirnya ikut nimbrung dan memperkenalkan diri. Ada 2 pemuda yang bekerja di Italia sedangkan seorang bapak usia 50 tahunan yang merupakan staff di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Roma. Hanya basa-basi sebentar, kami pun kemudian berpisah.

Aku berjalan kembali ke arah stasiun dan mengambil kereta untuk balik ke arah Flamino. Setibanya di Flamino, aku mengunjungi salah satu alun-alun terkenal di kota Roma, Piazza del Popolo. Alun-alun ini dipenuhi dengan toko-toko brand terkenal. Namun, aku tidak berminat untuk belanja. Saat itu, satu hal yang aku cari adalah: tempat makan. Dan berdasarkan google, ada sebuah restoran jepang yang terletak hanya 1 kali pemberhentian menggunakan kereta.
Piazza del Popolo
Monumen utama di Piazza del Popolo

Maka, aku pun masuk kembali ke stasiun Flamino dan menggunakan kereta metropolitana ke stasiun Spagna. Dari stasiun Spagna, aku keluar dan berjalan beberapa ratus meter ke sebuah restoran Jepang bernama Hamasei. Selama di Italia, aku sudah beberapa kali makan masakan Jepang, di restoran yang menamakan diri mereka sendiri sebagai restoran Jepang, tetapi pemiliknya adalah orang 'Cina'. Namun, kali ini, Hamasei merupakan restoran yang benar-benar dimiliki oleh orang Jepang, dan pegawainya hampir semua orang Jepang.

Diluar restoran, terpampang sebuah penghargaan yang diberikan oleh Michelin pada tahun 2017. Hal ini semakin menggoda-ku untuk mencicipi masakan Jepang asli di luar Jepang. Aku memesan seporsi lunch set menu sashimi seharga 15 Euro. Lunch set ini terdiri dari semangkok nasi putih, 3 potong sashimi salmon, 3 potong sashimi tuna/maguro, 2 udang, semangkok miso sup panas, seporsi appetizer bihun dengan bumbu-bumbu lain, kerang rebus dengan rempah-rempah, dan buah-buahan. Aku juga memesan segelas ocha panas dan seporsi ayam karaage sebagai tambahan. Semuanya, hingga potongan terakhir, membuat lidah tak berhenti bergoyang.
Sashimi Lunch Set
Tori Karaage
Restoran Hamasei terletak di Via delle Marcede nomor 35-36. Aku keluar restoran dengan perut yang terisi penuh. Saat itu, pukul 15.00 dan aku masih punya waktu untuk berjalan-jalan. Aku memutuskan untuk mengambil sebuah bus menuju Kantor KBRI Roma di Via Campania nomor 55. Perjalanan sekitar 20 menit menggunakan bus.

Terlihat sebuah gedung dengan warna peach bertingkat 2-3. Sebuah bendera Merah Putih dan bendera ASEAN di ujung sebuah tiang menunjukkan bahwa aku tidak salah tempat. Di salah satu sudut dinding, terdapat batu prasasti bertuliskan: KEDUTAAN BESAR REPUBLIK INDONESIA // AMBASCIATA DELLA REPUBBLICA DI INDONESIA.
Wisma Indonesia
Ada rasa gembira dan excited bisa berkunjung ke kantor ini. Aku masuk ke dalam untuk melaporkan diri. Sebagai warga negara Indonesia yang bermukim lebih dari waktu tertentu, sebaiknya melaporkan diri di kedutaan atau konsulat Indonesia setempat. Hal ini akan memudahkan pemerintah dalam mendata masyarakatnya dan memberikan pertolongan pertama jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Sebenarnya, aku sudah mencoba menggunakan fasilitas 'lapor diri online' karena tidak memungkinkan bagiku untuk pergi ke Roma hanya sekedar lapor diri. Namun ternyata, lapor diri online tersebut tidak berhasil dan tidak tercatat oleh KBRI.
Form manual Lapor Diri
Gedung KBRI Roma
Setelah selesai dari KBRI, aku memutuskan untuk menggunakan bus balik ke Termini dan melanjutkan perjalanan ke Colosseo dengan kereta bawah tanah. Pada April 2015, aku pernah menginjakkan kaki di Colosseo bersama keluarga, dan 1,5 tahun kemudian, aku mendapatkan kesempatan untuk berkunjung kedua-kalinya. Tidak banyak hal yang kulakukan di Colosseo, hanya mengabadikan momen tersebut dalam beberapa foto melalui ponsel, dan juga menyiarkan kegiatanku itu melalui instagram Live.
Colosseo Panorama
Colosseo lebih dekat

Hari semakin sore, aku pun mengambil kereta kembali ke Termini. Dari Termini, aku membeli karcis kereta regional luar kota yang akan membawaku ke kota kecil bernama Ciampino. Ciampino ini merupakan kota kecil yang tergabung dalam wilayah metropolis Roma. Jaraknya hanya 15km. Di Ciampino, terdapat sebuah bandara kecil dimana aku akan menggunakan maskapai RyanAir untuk pulang ke Sardegna pada pukul 8 malam.

Keretaku seharusnya berangkat pukul 17.20, namun setelah 30 menit tak kunjung juga berangkat. Aku semakin khawatir, dan memutuskan cepat-cepat mengambil kereta lain yang sama-sama menuju Ciampino. Aku tiba di stasiun Ciampino sekitar pukul 18.15, dan dari stasiun ke bandara, aku harus menggunakan bus khusus pada jam-jam tertentu.

Bus pertama seharusnya berangkat pukul 18.30, namun 20 menit telah berlalu, bus tetap tidak muncul. Bus kedua seharusnya tiba pukul 18.55, dan sudah hampir jam 7 malam, kedua bis tersebut sama sekali tidak ada. Aku semakin panik jika harus ketinggalan pesawat. Aku panik karena hal ini dapat menyebabkan para volunteer dan keluarga angkatku khawatir. Dengan begitu, aku akan susah meminta izin pergi-pergi lagi.

Untungnya, ada seorang bapak yang memiliki minibus yang memang ia gunakan untuk menarik penumpang dari stasiun ke bandara. Semacam taxi online. Ada sekitar 8-9 penumpang lain yang menggunakan jasa bapak tersebut. Bapak itu menceritakan kejadian sebenarnya pada sore hari itu. Ternyata, sejumlah pengemudi bus melakukan mogok kerja karena kebijakan pemerintah tentang taxi online, serupa uber. Jika saja tidak ada yang memberitahu, aku yakin, kami semua akan ketinggalan pesawat.

Namun, drama tidak henti disitu. Setelah membayar uang sebesar 5 euro ke bapak tersebut, aku segera bergegas ke ruang check-in. Aku harus mencetak ulang boarding pass ku, dan berhadapan dengan salah satu petugas check-in yang meminta ID-ku. Kutunjukkanlah izin tinggal-ku di Italia, namun ternyata identitas tersebut tidak berlaku untuk bepergian. Identitas yang diperlukan adalah paspor, sedangkan paspor kutinggal di Kantor UKVI.

Setelah melalui berbagai macam negosiasi, dan menjelaskan keadaanku sambil berakting sedikit, dan setelah petugas tersebut bertanya ke supervisor-nya, aku diijinkan untuk terbang.
Tiba di Cagliari-Sardegna
Aku tiba di Cagliari pukul 9 malam, dijemput oleh host mom dan host dad. Sebuah hari yang padat dan penuh drama mendekati akhir. Namun, sekali lagi, aku puas dan bersyukur akan kesempatan ini.

Comments

Popular Post