London 1: Landed!

Pagi yang cerah dengan awan putih yang sesekali nampak, namun tak begitu lebat sehingga langit biru dapat terlihat begitu indahnya. Jam 10.00 pagi, aku sudah tiba di depan sekolah, menunggu bis double decker sewaan sampai. Bis ini yang akan membawa 54 pelajar dari 3 kelas (Kelas 4M, 4N dan 5N) dan 4 guru pendamping (Prof. Antonio Casula, Prof.ssa Caterina Capoccia, Prof.ssa Mariella Piano, Prof.ssa Carla Garau) serta seorang kepala sekolah (Dott. Franco Fongia) menuju Bandara Internasional Elmas Cagliari. 
©lahakukudupiye

Maskapai low-cost EasyJet penerbangan EZY3204 akan membawa kami mengudara jam 14.30, namun sebelumnya kami harus melakukan proses screening terlebih dahulu sebelum masuk ke airside terminal. Setelah screening selesai, kami masuk ke ruang tunggu nomor 20/21 yang dikhususkan pada penerbangan ke Inggris. 
©lahakukudupiye
Re-packed hand luggage setelah proses screening
-- Meskipun 'Brexit' atau British Exit diputuskan baru-baru ini, sejak lama pemerintah Inggris Raya memperlakukan imigrasi yang berbeda dari negara Uni Eropa lainnya. Visa Inggris dan Visa Schengen tidak berkaitan satu sama lain, artinya, negara-negara yang tidak memiliki visa-free policy ke Inggris, diwajibkan untuk mengajukan permohonan visa ke lembaga yang berwenang. Hal ini pun berlaku bagi seluruh pemegang paspor hijau Republik Indonesia, termasuk aku yang notabene memiliki visa Schengen Italia valid dan -residence permit yang berlaku.  --
©lahakukudupiye
Proses Boarding
Di pintu masuk ruang tunggu ini terdapat 2 counter imigrasi, satu untuk warga Uni Eropa dan satu lainnya untuk pemegang semua paspor (all passports). Bagi penumpang yang bukan warga Uni Eropa wajib menunjukkan paspor dan melewati proses imigrasi pada umumnya, sedangkan teman-temanku lainnya hanya menunjukkan KTP-nya masing-masing. 
©lahakukudupiye

Tak lama setelah imigrasi selesai, boarding pun dimulai. 2,5 jam mengudara cukup membosankan. Aku menghabiskan waktu dengan bermain game di telepon seluler, membaca majalah, dan tak lama tertidur pula. Hentakan roda pesawat pada landasan pacu Bandara London Stansted membangunkanku dari mimpi. Langit gelap ditutupi awan kelabu menyambut ketibaan kami di Inggris.  
©lahakukudupiye
Pesawat kami parkir di remote area dan mewajibkan kami untuk menuruni anak tangga. Dari apron, kami berjalan kaki memasuki pier terminal dan ternyata dari pier terminal ini, kami harus menaiki kereta untuk menuju terminal utama. Proses imigrasi sore hari itu lancar tanpa kendala. Petugas imigrasi yang melayani ku juga tak segan tersenyum. Kami pun keluar dari ruang kedatangan menuju bus stand.
©lahakukudupiye
Apron Bandara London Stansted
©lahakukudupiye
Menuju airport train station 
Melalui travel agent di Italia, kami menyewa 2 shuttle bus yang mengantarkan kami dari bandara menuju hotel. Waktu tempuh selama 1 jam, melewati pinggiran kota London hingga akhirnya masuk ke pusat kota. Hal pertama yang sangat mudah ku-identifikasi adalah wilayah Canary Wharf. Gedung-gedung tinggi yang masing-masing memiliki logo perusahaan pemilik seperti HSBC, Barclays, Credit Suisse, dll. Bus tetap melaju, yang sebelumnya berkecepatan diatas 80km/jam, kini mulai melambat menjadi 40-60km/jam. 
©lahakukudupiye
London Stansted Airport
Kami melewati Tower of London dan juga Tower Bridge yang terkenal. Aku sempat mengambil gambarnya dengan telepon seluler dari dalam bus. Hasilnya tak begitu memuaskan, tetapi masih bisa dilihat. 
©lahakukudupiye
Tower Bridge (sebelah kiri) / Tower of London (kastil sebelah kanan)
Hotel kami bernama Royal National dan terletak sangat dekat dengan Russell Square. Hotel bintang 3 ini juga memiliki akses walking distance ke Russell Square Metro Station dan juga British Museum. Kami akan menginap 3 malam. 
©lahakukudupiye
Hotel kami!
Setelah proses check-in kamar selesai, kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan metro dari Russell Square station ke Piccadilly Circus Station. Metro yang kami gunakan adalah koridor warna biru, Piccadilly Line. Piccadilly Circus adalah sebuah persimpangan yang terletak di distrik West End yang terkenal dengan layar-layar videotron besar di dinding-dinding gedung setempat. Ada pula air mancur dan patung yang dikenal dengan sebutan Eros. 

Di salah satu sudut, terdapat sebuah museum Ripley's, sebuah museum yang mengoleksi benda-benda atau fakta-fakta menarik, aneh dan anti-mainstream. Di depan museum ini, saat kami lewat, berdiri seorang laki-laki tinggi yang pernah masuk dalam buku tahunan Ripley's sebagai salah satu manusia tertinggi di dunia. 
©lahakukudupiye
Ripley's Believe it or Not Museum
©lahakukudupiye

Tetap melalui travel agent yang sama di Italia, kami telah memesan pre-booked dinner untuk 3 malam di sebuah restoran Italia yang letaknya tak jauh dari Piccadilly Circus Station. Meski restoran Italia, menu yang disajikan merupakan masakan Inggris seperti roasted chicken with brown sauce, dan juga fish and chips. 

Namun sangat disayangkan, selama 3 malam, kami kurang puas dengan pelayanan di restoran ini. Kami menaruh beberapa review di TripAdvisor, mulai dari owner yang sedikit kasar, dan tempat yang telah disiapkan. Maka dari itu, aku tidak akan mencantumkan nama restoran tersebut. 

Setelah makan malam, guru pendamping kami mengajak untuk menelusuri jalan-jalan Chinatown di daerah Soho. Beberapa blok memang dihias dengan ornamen-ornamen China, tak hanya itu saja, kiri kanan jalan dipenuhi dengan restoran-restoran Oriental. 
©lahakukudupiye
Daerah Soho
©lahakukudupiye
Pintu Masuk Chinatown
Perjalanan kami terhenti di Leicester Square, dimana kami diberikan waktu sekitar 1 jam untuk melihat-lihat sekeliling. Aku dan beberapa temanku memutuskan untuk pergi ke supermarket Tesco untuk membeli camilan-camilan malam hari, sebelum akhirnya pulang kembali ke hotel. 
©lahakukudupiye
Leicester Square

Comments

Popular Post