London 3: Museums!

HIMBAUAN: Postingan ini adalah lanjutan postingan sebelumnya.  
Postingan sebelumnya bisa dibaca disini
Selamat membaca!

Oh ya, sarapan di Royal National hotel cukup menarik. Ada 2 pilihan buffet, continental breakfast atau English Breakfast. Continental sendiri terdiri dari sarapan standar seperti roti, susu, sereal, butter dan berbagai jenis selai. Opsi yang ditawarkan juga terbatas. Sebatas intermezzo saja, sarapan orang Italia pada umumnya hanya beberapa potong biskuit manis dan segelas susu ataupun kopi. Orang disini tidak terbiasa dengan 'salty breakfast' seperti omelette, dll. Nah, sedangkan orang Inggris sama dengan orang Asia pada umumnya, sarapan semi-berat.

Di hotel ini, buffet English breakfast menjajakan pilihan bubur ala ala Inggris, scramble egg, semacam sup kacang merah dengan saus tomat, bacon, sosis, dan juga hash brown. Uniknya, buffet ini dikenakan biaya tambahan dan harus dibayar dimuka. Hal yang lucu adalah ketika beberapa teman mengeluarkan selembar uang pecahan 5 Pounds untuk menikmati English Breakfast ini. Alasan mereka cukup simple, "Mencicipi sarapan ala orang Inggris". Bagiku, tidak ada yang salah dengan mencoba sesuatu yang baru. Ketika bepergian pun, aku memang mencari hal yang menjadi ciri khas tempat tersebut. Akan tetapi, telur orag-arig, sosis, da bacon bisa ditemukan di Sardegna, hanya saja mereka tidak pernah mencicipi menu tersebut di pagi hari. 5 Pounds bagiku bisa dipakai untuk makan siang.
English Breakfast: Hashbrown dan Scramble egg
Setelah sarapan, kami berangkat menuju daerah South Kensington di sebelah barat kota London. Di daerah ini, terdapat 3 museum besar dan megah berdiri, saling berdekatan. Masing-masing adalah Victoria Albert Museum, Natural History Museum dan Science Museum. Meski museum seni yang umumnya diketahui banyak orang adalah Louvre atau The National Gallery, Victoria and Albert Museum yang dibangun pada tahun 1852 dan diambil dari nama Ratu Victoria dan Pangeran Albert ini merupakan rumah untuk lebih dari 4,5 juta koleksi seni, menjadikannya sebagai museum seni dan desain terbesar di dunia. Sementara itu, Natural History Museum, terletak di seberang Museum Victoria dan Albert, dipisahkan oleh Exhibition Rd, merupakan tempat dimana beragam spesimen dari berbagai segmen sejarah alam dipamerkan. Bukan museum terbesar di dunia, tapi tetap saja menarik untuk dikunjungi. Dan satu lagi, sekedar informasi, hampir semua museum yang ada di London dapat dikunjungi secara gratis, hal ini terwujud dari beberapa CSR dan subsidi pemerintah.
Di peron stasiun metro
Di depan gedung Museum Victoria dan Albert
Sayangnya, kami tidak memiliki waktu untuk mengunjungi 2 museum tersebut. Kaki kami terus melangkah menuju satu gedung di belakanga Museum Natural History, The Science Museum. Museum ini menjadi surga bagi para pecinta hal-hal yang berkaitan dengan ilmu sains. Sejarah perkembagan energi dunia, hal yang berkaitan dengan astronomi, sejarah terciptanya jam, information age, revolusi ilmu pada dunia kesehatan dan farmasi, hingga dunia penerbangan.. masing-masing memiliki aula pamerannya sendiri.
Pintu masuk Group
Hall utama

Bangkai badan pesawat yang digantung
Oh ya, kebetulan, pada bulan Februari tahun ini, pengelola The Science Museum membuka sebuah pameran musiman bertemakan robot. Hasil dari 500 tahun penelitian terhadap hal ini, mulai dari ide awal, alkisah asal muasalnya, buku-buku ratusan tahun yang lalu, film-film tentang robot yang mulai dirilis sejak beberapa dekade lalu, hingga beberapa wujud robot modern dipajang rapih di dalam suatu aula. Pameran ini bersifat sementara, artinya dalam beberapa bulan mendatang, aula tersebut akan dipakai untuk pameran dengan tema yang berbeda. Ada biaya tambahan yang dipatok oleh pengelola untuk masuk dalam aula ini. Harga normalnya adalah 15 pounds, namun karena kami merupakan grup pelajar, kami hanya membayar sebesar 4 pounds saja.
Iklan pameran Robot
Salah satu robot lama yang dipamerkan
Dari museum ini, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju taman terbuka hijau terbesar di London, Hyde Park. Taman seluas 140 hektare ini menjadi tempat favorit untuk berolahraga, atau sekedar menghabiskan waktu diliuar ruangan bersama keluarga. Taman ini juga menjadi tempat unjuk rasa dan demonstrasi sejak abad ke-19, bahkan pemerintah membuat satu tempat khusus yang disebut Speaker's Corner bagi orang-orang yang menyuarakan aspirasinya. Selain itu, beberapa grup musik legendaris dari Pink Floyd, The Rolling Stones hingga Queen pun pernah mengadakan konser di taman ini. Aku duduk di pinggir danau buatan yang ada di tengah taman, menikmati udara segar dan hijau-hijauan. Sesekali, angsa putih berenang di depanku.

Damai.

Sunyi.

Tentram.
Princess Diana Park, bagian dari Hyde Park

Suara perut keroncong memecah kesunyian. Sudah saatnya untuk makan siang. Guru pendamping mengajak kami menuju sebuah distrik yang terletak di selatan Camden dan di sisi timur wilayah Westminster, 'Covent Garden'-lah namanya. Dahulu, tempat ini terkenal sebagai pasar buah-buahan, bunga, sayur mayur dan produksi ekonomi sektor primer lainnya, sebelum akhirnya kini dipenuhi dengan toko-toko mewah hampir di setiap sudutnya.
Gedung dibelakangku adalah Covent Garden Market
Dari pintu keluar Covent Garden Metro Station, kami berbelok kanan menyusuri sebuah jalan khusus pedestrian James St. yang berujung pada Alun-Alun Covent Garden. Sebidang tanah seluas kira-kira 11.500m2 ini, ditengah-tengahnya terdapat sebuah bangunan klasik tua yang menjadi ciri khas distrik ini, apalagi kalau bukan Covent Garden Market.

Bangunan dengan atap yang sudah diganti menjadi kaca ini berisikan sejumlah pub/bar, restoran dan beberapa toko-toko antik. Namun, aku tidak tertarik pada bangunan yang satu ini. Mataku tertuju pada bangunan yang ada di belakangnya, Jubilee Market. Jubilee Market merupakan bangunan perluasan baru dari Covent Garden yang menjual cinderamata-cinderamata khas London ataupun Inggris secara garis besarnya. Di Jubilee Market ini, aku membeli 2 kotak English fudge, masing-masing rasa vanilla dan chocolate chips.

Guru kami memberikan waktu bebas lagi-lagi 2,5 jam untuk makan siang dan belanja. Aku memisahkan diri dari grup dan berjalan mengikuti peta navigasi di layar telepon genggamku. Semalam sebelumnya, aku telah mencari dan menyimpan petunjuk jalan dari Covent Garden menuju sebuah restoran Indonesia yang berada tidak jauh dari sini.

Dari Covent Garden Market, aku hanya perlu berjalan sekitar 800 meter menyusuri King Street, melanjutkannya ke Garrick St, terus ke Upper Martin St dan Monmouth St hingga bertemu dengan sebuah monumen tinggi ditengah-tengah bunderan Seven Dials. Bunderan ini merupakan titik temu dari 7 jalan yang berbeda. Aku pun mengambil jalan Mercer yang kemudian bertemu dengan Shaftesbury Avenue.

Seven Dials Circus
Peta Seven Dials
Mercer Street
Sebuah restoran bernama Bali-Bali sudah di depan mata. Pintu kaca restoran pun kubuka, terlihat seorang bapak dengan kemeja batik berada di balik 'bar'. Bapak tersebut menyambutku, dan aku pun memesan makanan untuk take away. Bapak tersebut menawarkanku paket makan siang nasi goreng + kerupuk + acar dengan harga yang lebih terjangkau dibanding harga normal restoran tersebut. Hanya sekitar 10 menit menunggu, sekantong tas kresek sudah kugenggam dan kubawa jalan kembali ke arah Covent Garden Market.
Bali Bali Restaurant
Nasi Goreng
Aku sengaja mengambil jalan memutar sebelum sampai di Covent Garden Market. Hal ini sekaligus melihat jalanan lain di distrik ini. Jalan Long Acre pun menjadi pilihanku. Jalan raya sepanjang 500 meter ini dahulunya merupakan pusat dealer mobil dan juga pembuatan bus, namun kini dipenuhi dengan brand terkenal, sebut saja dari Pandora hingga Massimo Dutti. Salah satu toko yang aku masuki adalah Stanfords, sebuah toko yang menjual berbagai macam peta dari seluruh dunia. 


Kembalilah aku di Covent Garden Market ini. Aku menemukan sebuah sudut kecil lengkap dengan meja dan bangku-bangku kosong untuk makan siang di hari yang cerah tersebut. Hampir di setiap sudut Alun-Alun Covent Garden, termasuk di dalam Covent Garden Market, ataupun di luar St. Paul's Church, London Transport Museum dan Freemason House sekalipun, terdapat artis-artis jalanan yang mempertontonkan kebolehannya dalam menghibur orang yang melintas. 

Aku sendiri telah menyaksikan 3 macam pertunjukkan, masing-masing adalah sulap, akrobat hingga 4 orang yang saling memadukan alunan lagu hasil gesekan biola mereka. Mungkin, hal ini dapat diterapkan lebih banyak di Alun-Alun Kota Tua Jakarta ataupun Monumen Nasional? 
Musisi jalanan di dalam Covent Garden Market
Jam 16.00, semua rombongan telah berkumpul untuk balik ke hotel. Kami hanya diberikan waktu sebentar saja untuk menaruh barang belanjaan di kamar masing-masing, karena perjalanan akan dilanjutkan menuju British Museum. Di tengah perjalanan, aku menemukan sebuah kotak telepon merah yang juga menjadi ciri khas kota London. Sebenarnya kotak telepon ini menjamur dimana-mana, namun kotak telepon yang satu ini sedang sepi, alhasil kuabadikan dalam sebuah gambar. 

Apakah teleponnya masih berfungsi? 
Tidak seperti di Indonesia yang memang telepon umum sudah tidak zaman lagi, telepon-telepon didalam kotak merah ini masih berfungsi dengan baik. Gagang telepon ditarik, nada sambungpun masih terdengar. Namun, memang jumlah orang yang menggunakannya pun sudah berkurang. Beberapa kotak telepon pun dalam keadaan kotor, kumuh dan bau pesing tidak terawat. 

British Museum adalah satu museum lagi yang cukup besar, terletak di Great Russell Street. Museum yang menjadi rumah bagi 8 juta koleksi sejarah manusia, seni dan budaya ini, dikunjungi lebih dari 6,5 juta pengunjung tiap tahunnya, menjadikannya sebagai museum ke-5 di dunia yang paling diminati. 
Tampak depan British Museum


Aku dan beberapa teman kelas yang sedari pagi sudah capek berjalan kaki belasan kilometer memutuskan untuk duduk di cafe-nya saja sambil menunggu yang lain selesai. Museum ini terlalu besar untuk dikunjungi dalam waktu 1 jam saja. Sangat menarik untuk orang yang mengapresiasi sejarah, namun belum cukup menarik untuk aku pribadi. :(
Sebuah spiral yang disusun dari uang koin dari seluruh negara di dunia
Halaman depan British Museum
Sekitar jam 19.00, kami berkumpul di depan British Museum. Beberapa guru pendamping memberikan kami pilihan tentang tujuan selanjutnya. Mayoritas dari teman-teman lain ingin balik ke hotel dan beristirahat sebelum makan malam. Aku melemparkan sebuah ide terbuka untuk mengunjungi salah satu stadion sepakbola ternama yang letaknya tidak jauh dari situ, dan ternyata di sambut baik oleh seorang guru pendamping laki-laki dan beberapa teman-teman laki dari kelas 5N. Alhasil, kami melangkahkan kaki, mengambil metro, menuju Holloway.
Kaum Adam yang menuju Holloway
Tibalah kami di markas skuadran Arsenal, Emirates Stadium yang cantik, megah nan mempesona. Stadion sepakbola yang satu ini mengingatkanku pada pengalamanku menonton sebuah film besutan Ifa Ifansyah tahun 2009, Garuda di Dadaku. Emir Mahira yang memerankan tokoh Bayu merupakan seorang Gooners yang kemudian mengikuti seleksi Timnas U-13. Berkunjung ke stadion ini sebelumnya tidak pernah direncanakan, namun akhirnya bisa terwujud. Meski stadion-nya sudah tutup, begitupun dengan souvenir shop, namun kebahagiaan karena sudah bisa melihat langsung dengan mata kepala sendiri tetap tercipta. 
Dari Stadion Malomba yang becek di Mataram, hingga Emirates Stadium nan megah.
Pemandangan kota Holloway
Sunset di Emirates Stadium
Potret keindahan stadion ini ditambah dengan warna langit senja bergradasi. Sayup sayu, suara kereta urban yang lewat dan beberapa burung merpati menambahkan suatu kesan yang sulit untuk digambarkan. Sayangnya, kami tidak bisa lama-lama di stadium ini, rombongan lain sudah menunggu di hotel untuk sama-sama berangkat ke tempat makan malam.
Sesampainya di Russell Square Station, sebelum balik ke hotel, aku membeli seporsi burger take away dengan isi daging sapi bulgogi sebagai camilan. Godaanku saat travelling sebenarnya hanya 2, foto di landmark dan makan apa saja yang kelihatannya menarik. Untuk 2 hal tersebut, halangannya hanya satu: sponsor. Ehehehe
Bulgogi Beef Burger dari Pret-A Manger food shop.
Malam ini merupakan malam terakhir di London. Setelah makan malam, kami diberikan waktu 1 jam untuk berkeliling di daerah Piccadilly Circus. Toko-toko pakaian yang buka pada pagi hari sudah tutup, diganti dengan orang-orang yang pergi ke pub/bar atau diskotik. Tepat tengah malam, kami mengambil kereta untuk kembali ke hotel dan beristirahat.


Comments

Popular Post