Labirin Di Atas Laut

Minggu 12 Februari 2017. 

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Perjalanan menuju karnival Venezia. Karnival inilah yang menjadi alasan 'cairnya' izin kami untuk bisa bertandang ke Venezia. Aturan Intercultura/organisasi AFS di Italia dalam urusan 'perjalanan' seorang diri memang sangat belibet

Selama masa program AFS di Italia, seorang siswa yang di-host bisa bepergian:
1. Bersama keluarga angkatnya
2. Bersama sekolah
3. Bersama volunteer AFS
4. Sendiri

Nah, tapi yang nomor 4, 'bepergian sendiri', rumitnya bukan main. Kita boleh bepergian sendiri dengan syarat:
1. Ada orang dengan usia 18 tahun keatas yang direkomendasikan AFS, atau
2. Ada orang yang akan 'menampung' kita di rumahnya, karena anak AFS di Italia tidak boleh nginep di hotel tanpa pendampingan siapapun. 

Kami akhirnya bisa pergi karena 'pasal' terakhir dimana host family Arifi siap menampung. Namun, sempat ada beberapa negosiasi untuk beberapa anak. Contohnya aja Rana dan Cila. Mereka sudah menjelaskan tentang 'pasal' terakhir tersebut, tapi volunteer awalnya mempermasalahkan ijin sekolah mereka. Namun, Alhamdulillah, dengan negosiasi dan doa, akhirnya mereka bisa juga nyampe di Veneto. 

----

Pagi ini, kami semua bangun lebih awal dan siap-siap berangkat. Untuk turut menyemarakkan festival ini, kami juga berdandan rapi. Kami ber-6 kompak berseragam batik, mempertontonkan motif kebanggaan negara kami. Khusus hari ini, kami tidak punya waktu untuk sarapan seperti biasanya. Agnese khawatir akan kereta yang kemungkinan penuh sesak dengan orang-orang yang sama-sama pergi ke Venezia. Alhasil, 7.30 pun mobil sudah melaju di tengah jalan yang sepi. 

Setibanya di Stasiun Montebelluna, kereta api menuju Castelfranco sudah menunggu di peron 2. Dengan cepat, kami membeli karcis kereta seharga 6.10 Euro dan menggunakan kereta regional nomor 11103 jam 8.07. Kereta ini bergerak cepat-cepat lambat dari Montebelluna ke kota Castelfranco selama 16 menit.
Memulai hari dengan Selfie di kereta
Sayangnya, tidak ada satupun kereta dengan rute langsung antara Montebelluna ke Venezia. Mau tidak mau, semua penumpang harus melakukan transit di salah satu kota, pilihannya: Treviso atau Castelfranco. Agnese memilih untuk transit di Castelfranco hanya karena stasiunnya yang lebih kecil dan kemungkinan besar tidak akan sepadat di Treviso. 'Pilihan' yang tepat. Dengan begini, ketika tiba di Castelfranco, kami memiliki waktu transit selama 20 menit dan digunakan untuk 'sarapan kilat' di salah satu coffeeshop yang ada. 

Rata-rata kami, anak Srudits, masing-masing mengambil satu pastry yang masih hangat. Fresh from oven. Aku sendiri seorang pencinta pastry dengan cacao nocciola. Pastry pagi itu cukup lezat dan mengenyangkan. Tekstur crunchy dari pasta sfoglia yang di oven dengan panas yang pas, ketika digigit, coklat nutella di dalamnya luber keluar. Manis. Crunchy. 

Tak lama kemudian, kami bergegas ke peron menunggu kereta regional 5719 yang akan membawa kami ke stasiun Venezia S. Lucia. Venezia sendiri memiliki 2 stasiun kereta, masing-masing bernama Venezia Mestre dan Venezia S. Lucia. Perbedaannya adalah stasiun Mestre terletak di Kota Venezia yang berada di daratan utama negara Italia, sedangkan Venezia S. Lucia berada di kota yang terletak 'diatas air'. 

Yups, jadi ketika kita berbicara Venezia, sebenarnya kita harus pasti, Venezia mana yang kita maksud? Venezia yang menjadi tempat wisata, set syuting film The Tourist, dan gondola-gondolanya adalah Venezia S. Lucia. 

Perjalanan Castelfranco-Venezia S. Lucia ditempuh selama kurang lebih 1 jam dengan kereta. Seperti dugaan kami, di dalam kereta ternyata sudah cukup padat oleh orang-orang dengan kostum warna-warni khas Venezia. Mau tidak mau, kami berdiri di dekat pintu keluar karena kehabisan kursi. Oh ya, pada perjalanan ke Venezia kali ini, kami ditemani oleh seorang teman Arifi asal Malaysia bernama Jung, dan host brother-nya yang bernama Francesco.

Seperti hari-hari sebelumnya, selama perjalanan di kereta, kami bernyanyi ria tanpa malu, seakan kereta milik kami semua, wong Indo. Suara terdengar sayup-sayup dari speaker dalam kereta, memberitahukan bahwa kita mendekati stasiun terakhir, Venezia S. Lucia. Dari stasiun sebelumnya ke S. Lucia, kereta melaju diatas sebuah jembatan penghubung antara mainland dan pulau. Ketika mendekati tujuan akhir, kami dapat melihat di laut beberapa gondola hitam yang sedang didayung oleh sekelompok orang secara bersamaan. Sama seperti kereta, hanya beda kecepatan, gondola-gondola tersebut melaju ke arah pulau.

Pintu kereta terbuka otomatis, kaki kami melangkah turun menginjak tanah sebuah kota yang berada diatas laut, terkenal seantero dunia. Ratusan manusia memadati stasiun, bergerak keluar menuju satu tujuan. Kami berkumpul di salah satu sudut stasiun dan melihat sekelompok orang menggunakan seragam warna-warni kontemporer, mengambil kesempatan untuk berfoto bersama.
Foto bersama di stasiun
Kemudian, kami pun keluar dari stasiun Venezia S. Lucia yang besar dan disambut dengan sebuah pemandangan yang mempesona. Sungai/kanal besar yang langsung terlihat, dan diseberangnya ada deretan bangunan megah seperti San Simeone Piccolo, Palazzo Foscari Contarini, dan lainnya.. Columbidae terlihat asyik beterbangan, mengepakkan sayapnya, menikmati udara segar dan angin laut. Bebas.
Selfie bersama di luar stasiun, background San Simeone Piccolo
Kami berjalan kaki dengan tujuan ke Piazza San Marco yang jaraknya sekitar 2,5 km. Sebenarnya, di depan stasiun terdapat pelabuhan kecil (ferrovia) untuk watertaxi/waterbus atau private charter boat. Di Venezia sendiri tidak terdapat kendaraan bermotor sama sekali. Penduduk setempat sehari-hari hanya mengandalkan 2 kaki mereka untuk berjalan didarat, atau ketika harus pergi ke sudut lain kota, maka ada yang namanya waterbus.

Kapal rendah memanjang ini merupakan moda transportasi yang cukup terkenal di Venezia. Model-nya mirip dengan yang ada di kanal-kanal Amsterdam. Para wisatawan yang datang dengan jumlah kecil umumnya menggunakan waterbus, yaitu kendaraan umum berbayar yang menggunakan kapal tersebut. Namun, umumnya, untuk wisatawan yang datang dengan grup, pihak travel agent bekerja sama dengan beberapa perusahaan penyewaan kapal, namun berangkatnya tidak dari ferrovia yang sama. Gondola? Gondola di Venezia hanya menjadi salah satu daya tarik wisatawan dan hanya digunakan oleh pelancong yang datang. Harganya pun juga lumayanlah.. lumayan bisa dipake belanja/makan. Harga gondola untuk siang hari adalah EUR 80, sedangkan malam EUR 100. Rutenya sudah ditentukan dan harga tersebut berlaku untuk 1 gondola maksimal 4 penumpang. Lebih dari itu, maka akan kena charge lagi.

Sayangnya, bagi kami.. No watertaxi. No chartered boat. No waterbus. No gondola.
Kami mengandalkan tekad yang kuat dan jiwa muda untuk menggerakkan kaki ini menyusuri labirin di atas laut. Yups. Jika dilihat dari peta, atau mengunjungi secara langsung, Pulau Venezia ini memiliki gedung-gedung 2-3 lantai bahkan lebih, dan jalan-jalan daratnya pun kecil-kecil. Persis seperti labirin. Tanpa bantuan google maps, tidak menutup kemungkinan kami akan berujung disuatu tempat/sisi lain pulau tersebut.

Kami menyusuri gang kecil Rio Tera Lista di Spagna menuju timur, melewati Chiesa di San Germania dan tiba di jembatan pertama kami pagi hari itu, Ponte delle Guglie. Jembatan ini merupakan salah satu dari 400 lebih jembatan di Pulau Venezia, yang pertama kami lewati. Tidak ada yang istimewa dengan jembatan ini, hanya saja saat kami berada di situ, kebetulan sekali sejumlah gondola dengan orang-orang berkostum karnival melintas. Kami pun mengabadikan momen tersebut dalam foto dan video.
Ponte delle Guglie dan Gondola
Pemandangan dari Ponte delle Guglie
Menyeberangi jembatan, kami melanjutkan perjalanan menyusuri Rio Tera S. Leonardo, menyambung ke gang Calle de Pistor, Rio Tera de La Madalena dan berhenti sejenak di Campo della Maddalena. Terdapat salah satu ujung kanal dengan latar belakang Gereja Santa Maria Maddalena. Kami mengambil foto (lagi) dan melanjutkan perjalanan (kembali). Sepanjang perjalanan, banyak sekali pedagang kaki lima yang membuka lapak menjual suvenir seperti magnet kulkas, dan lain-lain. Selain itu, beragam topeng Venezia pun dijajakan menunggu orang-orang untuk membelinya. Jawara belanja Srudits, (dibaca: Rana), sejak keluar stasiun sudah melirik-lirik lapak satu persatu, membandingkan harga di tempat satu dan tempat lainnya.
Topeng-topeng Venezia
Srudits dan Jung di Santa Maria Maddalena
Di tengah-tengah perjalanan kami menuju Piazza San Marco, kami singgah dulu di suatu bangunan terkemuka bernama Fontego dei Tedeschi. Bangunan ini berbentuk persegi dan memiliki 4-5 lantai. Di dalamnya terdapat toko-toko seperti Gucci, Pugi Piera dan lain-lain. Ada pun restoran dan bar, layaknya sebuah mall. Namun yang menjadi daya tarik adalah balkon yang berada di lantai paling atas. Dari balkon ini, kita dapat melihat sudut pengkolan Grand Canal, dan kota Venezia secara luas. Naik ke balkon ini tidak dipungut biaya, hanya saja karena ukurannya yang kecil, pihak management membatasi jumlah pengunjung yang naik dalam satu waktu. Maka, ada antrian yang menguji kesabaran, untung saja.. saat kami sampai, antrian tidak begitu banyak.
Interior dalam Fontego dei Tedeschi
Pemandangan dari atas balkon Fontego dei Tedeschi
Selfie di atas balkon
Dari situ, perjalanan dilanjutkan menuju Piazza San Marco. Piazza San Marco sendiri adalah alun-alun terbesar dan yang paling terkenal di Pulau Venezia dengan luas kurang lebih 16.000m2. Rata-rata, setiap orang yang berkunjung ke Venezia pasti akan ke piazza ini. The heart of the city. Mendekati Piazza San Marco, mulai banyak orang-orang berkostum yang berdiri. Mereka adalah masyarakat sekitar yang memang tinggal di pulau, ataupun pendatang yang sengaja hadir untuk menyemarakkan karnival tersebut. Banyak wisatawan yang berfoto dengan mereka, dan tidak dipungut biaya sepeserpun.
Sepasang penduduk lokal yang menyemarakkan carnaval
Rana dan 'model Venezia'

Di Piazza San Marco, terdapat sebuah jam yang mirip dengan jam yang ada di Padova, terdapat pula sebuah museum dan deretan coffeeshop yang selalu ramai. Namun, yang paling terkenal adalah menara tinggi dengan warna batu bata, St. Mark's Campanile tower, Doge's Palace dan basilica besar San Marco. Kata orang, di dalam basilica ini terdapat ornamen-ornamen interior yang menawan. Hanya saja antrian untuk bisa masuk ke dalam mengular hingga luar basilica. Kami tidak ingin membuang waktu dan memutuskan untuk tidak masuk ke dalam.
Doge's Palace
Basilica san Marco dan Coffeeshop
St. Mark Campanile Tower
Dari sini, kami berpisah dengan Agnese. Kami, 6 anggota srudits, ditemani Francesco dan Jung diberikan waktu 2 jam untuk jalan-jalan sendiri. Kami pun keluar dari Piazza San Marco, menuju Riva degli Schiavoni. Riva degli Schiavoni adalah sebuah jalan lebar yang berada disisi Grand Canal. Burung-burung merpati juga banyak dan mendaratkan kaki mungil mereka diatas tanah ketika ada yang memberikannya makanan.
Memberi makan burung
Grand Canal adalah kanal terbesar di Pulau Venezia dengan lebar maksimal 90 meter. Dari Riva degli Schiavoni, kami dapat melihat sisi di seberang Grand Canal. Di pinggiran, terdapat gondola yang sedang parkir rapi. Seutas tali menjaga agar gondola tidak mengapung kemana-mana.
Gondola yang bersandar di sisi Riva degli Schiavoni, Grand Canal
Di Riva degli Schiavoni, terdapat lebih banyak lagi lapak-lapak souvenir. Karena asiknya kebersamaan Srudits, warna-warni lapak yang berjualan, jalan yang seolah tak berujung, membuat kami secara tidak sadar telah berjalan cukup jauh dari Piazza San Marco dengan perut yang keroncongan. Kami pun memutuskan untuk 'masuk' kembali ke dalam pulau, dan rute kami berbelok ke gang kecil Calle de la Pieta di samping Hotel Metropole. Gang ini lebarnya hanya 1,5 meter. Benar-benar serasa labirin.
Riva degli Schiavoni

Berpedoman pada google maps, kami mencari jalan-jalan kecil yang akan menghubungkan kami ke Piazza San Marco. Di tengah perjalanan, kami menemukan sebuah toko kebab. Kami pun mampir dan membeli kebab untuk take away. Harga seporsi kebab 5,5 Euro, namun ukurannya jumbo. Kenyang, nikmat dan halal. Niat awalnya adalah makan kebab sambil jalan balik, tapi karena kebabnya blewer kemana-mana, alhasil kita makan di depan toko tersebut.
Sertifikat Halal Resto Kebab
Setelah perut terisi, kami melanjutkan perjalanan mengeksplorasi labirin besar tersebut. Tak terasa, Piazza San Marco sudah dekat, akan tetapi aku ingin mampir dulu di toko Hard Rock untuk membeli barang titipan orang. heheeh.. Hanya berjarak 250 meter, kami pun akhirnya tiba di Piazza San Marco dan kembali bertemu Agnese.

Agnese yang sudah menunggu kemudian bangkit dari duduknya dan mengajak kami ke sebuah toko buku tua terkenal di Venezia. Kami berjalan lagi sekitar 500 meter ke 'Libreria Acqua Alta'. Toko buku ini merupakan salah satu toko buku tertua di dunia dan buku-buku yang ada di dalamnya pun juga salah satu edisi kuno. Masuk ke dalam toko buku ini, buku-buku dipajang di rak-rak kayu dan juga diatas replika gondola-gondola besar. Aku pun teringat dengan salah satu toko buku yang ada di Diagon Alley di film Harry Potter seri I: The Sorcerer's Stone. Mirip banget. Di belakang toko ini, terdapat halaman kecil dan sebuah tangga yang tersusun oleh buku-buku yang ditumpuk.
Salsa dan Jung diatas tangga buku
Tangga buku
Aku tidak membeli buku apapun, begitupun dengan yang lain. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Agnese membawa kami ke Ponte Rialto, salah satu jembatan putih terkenal yang menyeberangi Grand Canal. Jembatan ini merupakan salah satu jembatan yang tertua (dibangun mulai tahun 1588) dan membelah 2 distrik: San Marco dan San Polo. Di atas jembatan, kami berfoto ria dengan latar belakang kanal yang dipenuhi hlir mudik-nya kapal-kapal pengangkut penumpang, dan deretan bangunan klasik di kiri kanan sungai. Meraviglioso!
Pemandangan dari atas Ponte Rialto
Hari sudah sore dan saatnya untuk pulang. Kami kembali menyusuri jalan sejauh 2,5km menuju stasiun. Kami singgah sejenak di Gereja Santa Maria di Nazareth, yang letaknya persis di samping stasiun Venezia S. Lucia. Kami hanya menengok ke dalam sejenak dan keluar lagi. Sama seperti di Basilica Sant'Antonio, kami dilarang untuk mengambil gambar di dalamnya.
Menunggu kereta di stasiun
-----------------------------
Setelah 1,5 jam kurang lebih menggunakan kereta, akhirnya tiba juga di rumah. Tempat tidur yang empuk menemani kami hanya sekedar untuk merebahkan kaki yang sudah digunakan untuk berjalan hingga belasan kilometer. Kami punya waktu satu jam untuk shalat, dan lain-lain. Malam ini, kami diundang makan di rumah Daniela dan Dario.
Kue asin khas Lecce
Setibanya di rumah mereka, terlihat Dario dan Renato bekerja sama sedang mempersiapkan makan malam. Kami langsung disuruh naik ke lantai 2 Gedung B (tempat bermain). Di lantai tersebut, sudah terdapat 2 meja makan yang sudah disusun dengan gelas-gelas dan piring plastik. Ada pula roti-rotian, irisan kalkun dan semacam kue asin khas Lecce yang menjadi appetizer-nya. Untuk main course-nya, ayam bakar, steak daging sapi, sosis ayam-kalkun homemade dilengkapi dengan pilihan sayuran carcioffi bakar, paprika bakar atau radicchio bakar dan juga kentang goreng. Radicchio bakar, menurut mereka, adalah makanan khas daerah tersebut. Setelah itu, ditutup dengan dessert yang menggoyang lidah: tiramisu. Ada pun kue manis kering khas wilayah Veneto.
Ayam bakar wong veneto
Ayam bakar, radicchio bakar, carcioffi salad, dan paprika bakar
Sama seperti malam sebelumnya, setelah makan, kami mencari permainan kreatif untuk seru-seruan. Alhasil, kami bermain sambung lagu (lagi). Kebetulan, diatas meja terdapat semangkuk buah olive dan mayoritas dari kami sama sekali tidak suka dengan buah tersebut. Ide jahil pun keluar, untuk siapapun yang kalah dalam permainan tersebut, harus memakan 1 buah olive.

Bosan dengan permainan tersebut, kami akhirnya meminta izin menggunakan billiard-nya. Tertawa bersama. Bersenda gurau bersama. Tak terasa sudah hampir tengah malam. Kami pun kembali ke rumah dan beristirahat.







Comments

Popular Post