Mabuk Sushi di Treviso


Pagi hari itu, Jumat 10 Februari 2017, langit di Marrubiu sangat cerah berawan. Matahari memancarkan sinarnya, kadang diselingi bayangan awan yang datang dan pergi. Pukul 8.00 waktu setempat, satu tas ransel sudah mejeng diatas pundakku dan 1 buah koper kabin terkunci berada di genggaman. 
Ready to go
Dari rumah, aku diantar host dad dan host mom menuju Bandara Internasional Cagliari Elmas. Letak bandara ini berada di selatan Pulau Sardegna dan berjarak sekitar 90km dari Marrubiu. Perjalanan pagi hari itu cukup lancar dan hanya memakan waktu sekitar 50 menit. 

Setibanya di bandara, host parents mencari bar untuk sekedar minum kopi dan sarapan. Sementara itu, aku harus mendaftarkan bagasi-ku ke counter check-in. Sebulan sebelumnya, aku telah memesan tiket pesawat secara online dengan maskapai Ryan Air. Ryan Air itu semacam air asia-nya Eropa lah. Penerbangan murah. Aku memesan tiket pesawat ke Treviso. 

---
Jadi, pendahuluannya dulu.. 
Aku memiliki teman AFS Indonesia, anggota Srudits, namanya Arifi. Arifi ini di host di daerah Veneto (orang banyak kenal dengan sebutan daerah Venezia). Ibunya Arifi suatu ketika mengatakan ke Arifi bahwa boleh saja teman-temannya diundang untuk menginap di rumah mereka. Alhasil, inilah kesempatan yang kami pergunakan dengan baik. Hahaha

Setelah Arifi memberikan informasi tentang itu, ada rapat terbatas diantara anggota Srudits tentang rencana untuk 'jalan-jalan' ke kota Venezia. Kami mencari momen yang pas dan kira-kira siapa saja yang bisa hadir. Setelah melihat-lihat tanggalan, pilihan kami jatuh pada bulan Februari 2017 dimana pada bulan ini akan ada Carnival of Venezia. 

Carnival of Venezia ini sebenarnya cukup terkenal. Orang-orang berpakaian tradisional dengan topeng-topeng khas Venezia, kemudian kanal-kanal dipenuhi gondola-gondola yang diisi oleh orang-orang berpakaian karnival tersebut. Bahkan pernah suatu kali karnival ini digadang-gadang sebagai karnival terbesar di dunia kedua setelah Rio De Janeiro. 

Italia memang merupakan negara penuh karnival. Hampir tiap kota punya karnivalnya sendiri-sendiri, tetapi tentu yang paling terkenal adalah di Venezia, dan.. yang durasinya paling lama juga adalah Venezia. Karnival Venezia sendiri dimulai dari tanggal 11 hingga 28 Februari 2017. Awalnya kami berencana untuk datang diakhir karnival (antara 25-28 Februari), namun sayangnya, ada beberapa dari kami yang kebentur jadwal dan kesibukan lainnya. Setelah negosiasi berkali-kali, dimantabkanlah tanggal keberangkatan dan kepulangan: 10-14 Februari 2017. 

Host parents Arifi menyanggupi untuk menampung 5 orang anak. Dan kebetulan yang saat itu dengan cepat menyanggupi untuk ikut ada 5 orang juga, mereka adalah: Putra dari Bari, Salsa dari Lecce, Rana dari Brescia, Cila dari Calabria dan aku sendiri dari Sardegna. Jadi, selama perjalanan akan ada total 6 anak Indonesia, 3 laki-laki dan 3 perempuan yang akan bersenda gurau di Kota Romantis Venezia.
Cila belum sampai, jadi foto hanya berlima

-------------

Treviso merupakan sebuah provinsi di Region Veneto, sekaligus merupakan sebuah nama ibukota dari provinsi tersebut. Treviso sendiri letaknya sekitar 40km diutara Kota Venezia. Sebenarnya, para wisatawan yang hendak berkunjung ke Venezia memiliki 2 opsi, yaitu mendarat di Bandara Internasional Marco Polo di pusat Venezia, atau di Bandara Treviso. Bandara Marco Polo dikuasai oleh maskapai penerbangan plat merah Alitalia, sedangkan Treviso dikuasai oleh penerbangan murah Ryan Air. 

Menimbang faktor harga tiket pesawat Cagliari-ke Veneto dan konektivitas bandara, aku memutuskan untuk mendarat di Treviso dan menggunakan Ryan Air. Tidak hanya itu, Salsa dan Putra yang sama-sama berangkat dari Bari juga akan mendarat di Bandara yang sama satu jam setelah aku tiba. Cila pun begitu, bedanya Cila akan tiba lebih sore. Oh yaa, Rana dari Brescia akan menggunakan kereta Trenitalia dan tiba di Stasiun Kota Treviso, dengan begini, host mom Arifi tidak repot menjemput kami. 

Oh, rumah Arifi pun tidak tepat berada di Venezia, tidak pula di Treviso. Rumah Arifi terletak di sebuah kota kecil bernama Montebelluna. Montebelluna ini terletak 22km diutara Treviso, artinya sekitar 60km dari Venezia. Artinya, lebih dekat ke Treviso. 

Aku tiba di Bandara Treviso sekitar jam 11.20, tepat waktu. Bandara Treviso ini tergolong bandara berukuran kecil, mirip Adi Sumarmo di Solo. Di Bandara, aku dijemput oleh sebuah mobil FIAT putih yang dikendarai Agnese Santin, host mom Arifi. Arifi pun juga turut hadir menjemputku. Dari Bandara, kami menuju stasiun kereta Treviso Centrale yang berjarak 4km. Kami datang untuk menjemput Rana yang tiba pukul 12.22. 

Di Peron nomor 3, kami bertiga sudah berdiri menunggu meski kereta masih jauh terlihat samar-samar. Tidak seperti di Sardegna, Treviso saat itu tidak didominasi dengan sinar terik matahari, melainkan awan kelabu dan suhu udara sekitar 12 derajat Celsius, cukup membuat menggigil. Beberapa menit berlalu, suara kereta terdengar semakin keras dan badan kereta yang awalnya terlihat seperti fatamorgana, perlahan mulai tampak nyata. 

Kereta pun berhenti, dan kami membagi tempat berdiri dan menyaksikan tiap-tiap wajah orang yang turun dari 5 gerbong kerea berbeda, mencari target utama kita. 

Akhirnya, terlihat sebuah perempuan berambut hitam panjang, menggunakan sepatu hak tinggi, kacamata yang disandarkan diatas ubun-ubun, lengan kiri yang dilipatnya agar tas hitam-nya bisa bergantung, sebuah telepon seluler berada di genggamannya, dan koper hitam kecil yang kami asumsikan berisi peralatan make up di tangan kanan.

Saling rangkul pun tak bisa terbendung, namun, tak bisa lama-lama sebab kami harus kembali ke Bandara untuk menjemput rombongan dari Bari, Salsa dan Putra. Saat mendekati bandara, rambut hitam dengan model ala-ala Justin Bieber tahun 2010 sudah terlihat. Saling dadah-dadah sudah pasti dilakukan, senyuman lebar pun sudah dilemparkan dan dijamin ketulusannya 100%. 
Di piazza dei Signori
Mobil yang awalnya sepi perlahan mulai ramai, dipenuhi 4 tamu dengan koper-kopernya masing-masing. Host mom Arifi pun membawa kami kembali ke pusat kota Treviso, tepatnya di depan Stasiun Kota Treviso Centrale. Perjanjiannya adalah, kami diberikan waktu untuk berkeliling kota Treviso untuk melihat-lihat sekitarnya, mencari makan siang, dan nanti bertemu lagi di tempat yang sama untuk menjemput Cila di bandara jam 4 sore. 

Sekali lagi, kami 5 anak Indonesia yang sudah sekian bulan tidak bertemu, di depan umum, jingkrak-jingkrak kegirangan tidak bisa ditahan. Namun, sebelum perjalanan 5 hari dimulai, kita berdoa bersama. Setelah berdoa bersama, kamera handphone, gopro, mirrorless sudah siap untuk mengabadikan setiap momen kebersamaan tersebut. 
Corsa del Popolo
Dari stasiun, kami berjalan perlahan menyusuri jalan Via Roma, menyeberang jembatan diatas sebuah kanal kecil menuju Corsa del Popolo, mengambil jalan kecil di Via XX Settembre menuju Piazza dei Signori. Piazza Dei Signori merupakan salah satu alun-alun yang ada di Kota Treviso. Bangunan kuno berdiri tegak dan ada pula sebuah menara jam tua, Torre Civica. Di tengah alun-alun ini, kami bernyanyi bersama, dan lagu pilihan kami saat itu adalah Asmara Nusantara ciptaan Budi Doremi.
Salah satu kanal/sungai di Treviso
Rekaman Cover Asmara Nusantara di Piazza dei Signori
Perjalanan pun dilanjutkan menuju Duomo Cathedral of Treviso. Sayangnya, katedral tersebut tutup saat kami tiba, alhasil kita mencari alternatif lain. Arifi mengatakan ingin membawa kita ke beberapa tempat. Kita pun mengikuti-nya tanpa tahu arah kemana. Tiba-tiba, balik lagi ke Piazza dei Signori. -- Arifi memang bukan tour guide yang handal --. Dengan mengandalkan google maps, Arifi membawa kita ke Fontana delle Tette. Air mancur ini keluar dari payudara patung perempuan. Hal iseng pun keluar, kita berfotoan di depannya. 
Abaikan!
Foto-foto ria sudah dilakukan, perut semakin bergema tanda lapar. Kami pun mencari tempat makan yang sesuai dengan taste kami, akhirnya tibalah kami di depan sebuah restoran Jepang. Areku Sushi. Harganya 10,29 Euro All you can eat. Restoran ini terletak di Viale Fra Giocondo nomor 1. Sayangnya, pemiliknya adalah orang Cina, bukan orang Jepang asli. Tapi.. tak apalah, kondisi perut gak bisa diajak debat. 
Areku Sushi

Sistem All you can eat disini adalah kita boleh memesan makanan sepuasnya dan berkali-kali dari menu yang ada. Tentu saja, porsinya mini-mini. Kami kalap. Mungkin jika ditotal, kami telah memesan lebih dari 25 piring. Maafkanlah kekalapan kami, maklumi kami pelajar-pelajar Indo yang rindu akan masakkan kampung halaman, atau paling tidak yang mirip dengan yang ada di Indonesia. 
Ayam Kungpao porsi mini
Setelah makan siang, kami hendak balik ke meeting point. Namun, ditengah perjalanan, ada sebuah jembatan khusus pejalan kaki yang letaknya tepat di depan Universitas Treviso. Jembatan ini membentang menyeberangi sebuah sungai di kota Treviso. Di sepanjang pinggiran sungai terdapat pohon-pohon yang berdiri tegak namun tak berdaun karena musim dingin. Bangunan-bangunan klasik Eropa dengan warna-warna berbeda, jembatan kayu dan sungai bersih berhasil menghentikan langkah kami sejenak untuk mengabadikan momen tersebut (lagi). 
Ala-ala model
Ketika asyik berfoto ria, Arifi sudah ditelepon oleh host momnya, dan kita pun tanpa berpikir panjang langsung bergegas ke meeting point. KAMI TELAT. dan Arifi kena omel. Dalam hati: "Duh.. ini baru hari pertama." 

Yaa, tapi situasi mulai mencair. Awalnya di mobil serasa sunyi dan hampa, canggung mau berkata apa. Namun pelan-pelan ada saja topik pembicaraan dan suasana kembali seperti semula. kami balik ke bandara dan menjemput Cila. 

Dari Bandara, kami menuju Kota Montebelluna (kotanya Arifi). Perjalanan ditempuh sekitar 30 menit. Sepanjang perjalanan, Arifi dan host momnya saling bergantian menceritakan beberapa informasi seputar Veneto, salah satunya adalah fakta bahwa tiap-tiap kota di wilayah Veneto selalu dikelilingi oleh dinding-dinding besar dan tinggi. Mirip Kota Terlarang di Cina. 

Setibanya di Montebelluna, kami diajak berkeliling sebentar melewati sekolahnya Arifi, perpustakaan kota yang amat-amat modern dan dilengkapi teknologi serta komputer-komputer canggih, dan kemudian ke salah satu dataran tertinggi di kota tersebut. Ada sebuah gereja tua dan menara. Kami turun sejenak dan dari ketinggian tersebut, kami dapat melihat Kota Montebelluna, kota Treviso dan lampu-lampu menyala yang kami asumsikan berasal dari Kota Venezia. Sayangnya, hari itu memang tidak bercuaca baik. Kabut menutupi pemandangan yang sebenarnya sangat amat indah.
Menara di Kompleks Gereja Tertua di Treviso
Pemandangan dari Kompleks Gereja
Hari mulai gelap, kami pun memutuskan untuk kembali ke dataran rendah. Sebelum pulang, host mom Arifi mengantarkan kami ke supermarket Cadoro. Semacam Carrefour yang sangat amat lengkap. Kami diberikan waktu untuk belanja bahan-bahan masakan yang akan digunakan untuk memasak kuliner Indonesia pada hari selanjutnya. Kami memang disuruh untuk memasak masakan Indonesia pada malam hari Sabtu 11 Februari. 

Kami memutuskan untuk memasak gado-gado dengan kerupuk, nasi goreng dengan sate ayam, dan pisang goreng es krim. Beberapa bahan masakan sudah dibawa dari kota kami masing-masing, misalnya kerupuk sudah ada yang bawa. Bahan-bahan yang kami beli kebanyakan merupakan bahan-bahan segar seperti daging ayam dan sayur mayur. Total belanjaan kami adalah 74 Euro dan kami ber-6 patungan membayarnya. 
Sebagian belanjaan
Setelah cukup belanjanya, kami pun balik ke rumah. Kami memiliki waktu 1 jam untuk sekedar menggunakan toilet dan menunaikan kewajiban kami sebagai umat Islam, shalat. Shalat maghrib kali itu merupakan shalat berjamaah pertama kalinya bagi kami setelah 5 bulan susah mencari masjid. Orang yang didapuk menjadi imam pun adalah Putra, yang diimpor dari pondok pesantren di Jogjakarta. Shalat dilaksanakan dengan khidmat. Lantunan ayat-ayat Al-Quran yang dilafalkan Putra juga amat merdu, sampai-sampai host sister Arifi yang mendengar dari luar ruangan memuji kepiawaian Putra dalam menyairkannya. 

Malam ini, kami rencananya akan makan malam di sebuah pizzeria yang terletak di pinggiran kota Montebelluna. Nama restorannya adalah Ca del Sole. Makan malam saat itu dilakukan bersama dengan host dad, host mom, host sis Arifi, kemudian juga ada 2 orang volunteer dari AFS Chapter Montebelluna, dan ada pula 4 orang tamu lainnya dari AFS Chapter Lecce. 

Kami ber-6 memesan 6 pizza yang berbeda-beda. Aku selalu memesan pizza yang sama, yaitu pizza dengan kentang goreng diatasnya. Kemudian, Arifi memesan pizza dengan paprika, Cila memesan pizza dengan Salmon dan keju, Rana memesan pizza Napolitana, Putra memesan pizza Quattro formaggi, dan Salsa memesan pizza dengan tuna. Tiap-tiap pizza kami potong menjadi 6 slices dan kita bagi ke masing-masing orang. Membagi-bagi seperti ini adalah hal yang sangat tidak lazim untuk orang Italia. Mereka umumnya memesan 1 pizza untuk mereka sendiri. Kami mengeluarkan 10 Euro per orang untuk biaya makanan tersebut. 
Pizza kami
Makan malam usai, kami tidak langsung balik ke rumah. Kami berkunjung ke rumah Daniela dan Dario (2 volunteer dari Chapter Montebelluna). Rumah mereka cukup besar, terdiri dari 2 gedung utama. Sebut saja gedung A dan gedung B. Gedung A sendiri nampaknya sebagai tempat tinggal mereka, ada living room, kamar, dapur dan hal lainnya selayaknya di rumah biasa. Tetapi, di gedung B yang memiliki 2 lantai berisikan hal-hal yang amat sesuai untuk remaja seusia kami. Lantai bawah memang dijadikan gudang, namun lantai atasnya merupakan satu ruangan besar yang dilengkapi dengan satu set drum, meja ping pong, meja billiard, dan papan dart serta satu set permainan sepakbola tangan. Generasi sebelum kami memilih untuk duduk minum kopi di gedung A, sedangkan kami menghabiskan waktu di gedung B. 

Salsa sudah mulai mengantuk, begitupun dengan tukang tidur dari Makassar, si Cila. Sedangkan aku, putra, rana dan Arifi asyik bermain pingpong. Yaa.. berkeringat karena bermain pingpong atau karena lari mengambil bola tidak bisa dibedakan dengan jelas. 

Mendekati tengah malam, host parents Arifi mengajak kami pulang. Setibanya di rumah, kami mandi dan kemudian curhat-curhat di tengah malam. Awalnya bermain truth or dare, tapi kemudian Rana mengajak untuk membicarakan keluh kesah selama 5 bulan di perantauan, tapi kelopak mata tidak bisa menahan lebih lama lagi,, mulut pun mulai berucap: Buonanotte!

Comments

Popular Post