Padova.. Hmmbfff

Alarm-ku berbunyi. Jam menunjukkan pukul 6.15, namun kasur empuk dan selimut yang menghangatkan tubuh ini membuat kami enggan untuk beranjak bangun. Kulihat Putra dan Arifi yang sekamar denganku masih terlelap dan terhanyut dalam mimpi indah mereka. Kami kaum adam tidur sekamar, dan kaum hawa tidur di kamar lainnya. 

Agnese Santin, Renato (host dad), dan Sara adalah orang-orang yang sangat amat baik. Keluarga ini adalah keluarga yang amat dermawan. Rumah mereka bisa tergolong cukup besar. Terdapat 2 lantai diatas permukaan tanah, dan ada 2 lantai lagi dibawah. Luas tanah rumah mereka sekitar 3,5x lapangan futsal. Gerbang rumah dilengkapi dengan sensor dan dapat dibuka automatis dengan remote yang selalu berada di dalam mobil. Masuk ke lantai dasar terdapat 1 ruang keluarga dan 1 ruang sepatu. Ada pun ruang makan kecil dan dapur mini. Di bagian lain lantai dasar ini juga terdapat dapur kecil, 1 kamar kosong dan 1 kamar mandi.

 Di lantai 2, terdapat 1 ruang keluarga lagi yang lebih kecil, 3 kamar tidur dan 1 kamar mandi. Kamar tersebut masing-masing milik Agnese dan Renato, Sara (host sister) dan 1 kamar lagi untuk host brother Arifi, akan tetapi ia sudah menikah dan tinggal di rumah berbeda, alhasil kamar tersebut digunakan oleh Arifi. 
Itu baru dilantai atas. Di lantai basement terdapat 1 kamar tidur lagi, 1 kamar mandi, 1 ruang makan berukuran besar dilengkapi dengan dapur, 1 ruang penyimpanan wine dan bahan makanan, serta 1 ruang khusus bermain dilengkapi meja sepakbola tangan, guitar, lemari buku, treadmill, keyboard, sofa dan lain sebagainya. 

Sebenarnya, kemewehan rumah ini bukan hanya itu saja. Dekor ruangan yang modern, lantai thermal yang bisa menjaga suhu ruangan, dan CCTV hampir di setiap sudut rumah. Bisa dikatakan bahwa keluarga ini tergolong cukup berada, tetapi yang aku salut adalah mereka tetap rendah hati dan tidak menunjukkan kesombongan sama sekali. Hal ini bisa dilihat dari cara mereka berpakaian, dan bahkan Agnese saja rela pulang pergi bulak-balik bandara-stasiun-rumah-stasiun-bandara nyupir mobil sendiri demi kami. Agnese dan Renato juga sama-sama meminjamkan kamar mereka untuk kami, dan mereka tidur dibawah, di ruangan tanpa heater. 

Yaa begitulah ‘house tour’ pagi hari itu. Tiba-tiba kamarku diketuk dan dibuka oleh Rana dan Salsa. Mereka membangunkan kami.. hihihihi 
Kami pun akhirnya satu per satu beranjak bangun, cuci muka, sikat gigi dan shalat subuh. Setelah beberes kamar, kami turun ke ruang makan untuk sarapan bareng-bareng. Klasik sih, sarapan ala Italia. Pilihan minuman ada teh, kopi, dan susu yang masing-masing disajikan dalam sebuah mangkok gede. Kemudian, ada pula pisang, jeruk, roti dan biskuit yang menemani sarapan kami. Muka-muka setengah terlelap masih belum bisa hilang. 

Setelah sarapan, Agnese keluar ruangan untuk bergegas mandi, sedangkan kami membereskan tempat makan. Kami butuh pemanasan agar siap menikmati hari kedua perjalanan kami. Pemanasan disini artinya bernyanyi bersama. Yups! Selama 5 hari bersama, sudah ada sekian banyak lagu yang kami cover. Ehehehee… Mengingat kembali momen kebersamaan tersebut, layaknya seperti sebuah drama musikal. 

… 

Kamar beres. Kamera fully-charged. Handphone di tangan. Mantel, topi, kacamata dan sepatu sudah melekat ditubuh. Jiwa… 100% Bangun. 
Kami diantar ke Stasiun Montebelluna. Di stasiun ini, kami bertemu dengan volunteer yang sama dengan yang hadir pada acara makan malam di pizzeria. Rencananya, kami semua memang akan jalan-jalan di Padova. 
Sebelum berangkat, foto di Stasiun Montebelluna
Perjalanan dari Montebelluna ke Padova ditempuh dengan menggunakan kereta regional Trenitalia 11125 selama 46 menit. Kereta berangkat dari peron 2 jam 09.07 dan tiba jam 9.53. Harga karcis sekali jalan dipatok sebesar EUR 4.9. Sayangnya, kereta cukup padat dan kursi kosong pun hanya sedikit. Alhasil kami berdiri di dekat pintu keluar selama perjalanan. Lagi-lagi, di dalam kereta, kami bernyanyi ria. Lagu demi lagu diperdendangkan, berkali-kali penumpang lain melirik ke arah kami. 

Saking asyiknya, tak terasa 46 menit telah berlalu. Laju kereta semakin melambat, terlihat di luar jendela papan tulisan penanda nama stasiun Padova. Kami pun melangkah turun dan mencari pintu keluar stasiun. Stasiun Padova merupakan salah satu stasiun besar yang dirawat dengan baik. Banyak toko-toko hingga coffeeshop alias bar. Ada pula sebuah grand piano hitam mengkilap yang ditaruh di salah satu sudut stasiun dan dapat dipergunakan oleh pengunjung. Namun, pemandu kami, Agnese, sudah berjalan dengan cepat. Tak ada waktu untuk noleh kiri, noleh kanan. Semua harus berkacamata kuda. 
Tampak luar Stasiun Padova | Kabel menggantung diatas adalah untuk tram
Kami disambut oleh udara sejuk dan deretan bangunan klasik. Di dekat stasiun ini, hal pertama yang aku liat adalah banyaknya restoran kuliner mancanegara mulai dari rumah makan masakan India, Cina, Jepang dan lain sebagainya. Di kota Padova ini pula terdapat moda transportasi ‘tram’. Di atas jalan raya terdapat kabel-kabel yang menggantung sebagai penghantar daya listrik untuk tram-tram modern tersebut. 

Dari stasiun kereta, kami berjalan menyusuri salah satu jalan besar Corso del Popolo, menyeberang sebuah sungai dan masuk ke Corso Giuseppe Garibaldi. Kami berjalan 850 meter menuju Museum Civici Erimitani. Museum ini terletak dalam satu kompleks taman kota Giardini dell’Arena. Rencana semula, kami hendak masuk ke museum tersebut, tetapi entah kenapa ‘pemandu’ memutuskan untuk pergi ke tempat lain. 
Salah satu bangku taman di depan Musei Civici Erimitani.
Perjalanan dilanjutkan 250 meter menuju Piazza Garibaldi. Piazza Garibaldi ini merupakan sebuah alun-alun kecil yang terletak ‘ujung sate’ di jalan Corso Giuseppe Garibaldi. Di Piazza Garibaldi, terdapat sebuah toko 2 lantai bernama OD Store. Toko ini menjual beragam macam manisan: olahan coklat, kue-kue manis, dan lain-lain. Di lantai dasar, coklat-coklat batangan tersusun rapi dan dibungkus cantik demi menarik minat pembeli. Kami turun ke lantai basement untuk melihat isi toko tersebut lebih jauh lagi. Ternyata, dibawah tak kalah banyak. Marshmallow berplastik-plastik dipajang di rak besar, sedangkan berbagai macam kue dan pastry dipertontonkan melalui etalase kaca bening, seolah-olah merayu siapapun yang melihat untuk mencicipi kelezetannya. Yaa, kami pun tergoda.
Foto seru Rana di tong sampah Piazza Garibaldi.
Piazza Garibaldi
Arifi menunjuk pada kue berbentuk bola-bola berwarna coklat kuning keemasan dengan taburan warna putih dari gula halus diatasnya. Fritelle sebutannya. Fritelle adalah pastry manis khas wilayah Veneto, semacam kue sus yang digoreng. Kami pun menukarkan EUR 2,74 untuk mendapatkan 6 buah bola fritelle. Setelah membayar di kasir, kami memutuskan untuk duduk di salah satu bangku Piazza Garibaldi dan mencicipi fritelle tersebut. Nikmat, manis dan lezat adalah 3 kata yang dapat mendeskripsikan satu bola fritelle tersebut. Krim yang manis menjadi jawara. 
Fritelle
Selesai, kami langsung beranjak menyusuri jalan Via VII Febbraio yang berada di belakang Piazza Garibaldi. Jalan ini menyambung dengan jalan Via Roma dan Via Umberto I yang berujung di Alun-Alun kota Piazza della Valle. Sepanjang 3 jalan menyambung ini, di kiri kanan jalan berjejer toko-toko brand ternama, mulai kelas Prada, Gucci, Louis Vuitton, dll. hingga kelas H&M, Zara, Pull & Bear, Intimissimi, dsb. Jalan ini hanya khusus untuk pejalan kaki. Eits, tapi bukan hanya toko-toko tempat wisatawan berbelanja. Adapula gedung utama Universitas Padova. 

Kami berjalan pelan sambil menikmati suasana ramai kota Padova. Noleh kiri dan noleh kanan mumpung kami pisah dari ‘pemandu', melewati Piazza kecil bernama Piazza Cavour. Jalan ini juga turut disemarakkan oleh musik-musik seniman jalanan. Ada yang bermain gitar, drum, dan juga ada seorang ibu-ibu usia 60 tahunan ke atas yang bermain semacam wayang golek. Kami sempat berbincang hangat dengan ibu yang ramah ini. Usut punya usut, ternyata ibu ini memainkan wayang golek setelah pulang dari liburannya ke Pulau Dewata Bali. Ia mengaku terinspirasi dari seni dan budaya yang ada di Indonesia. Suatu kebanggaan tersendiri bagi kami. 

Ada insiden kecil saat itu ketika Arifi hendak ke salah satu ATM untuk menarik uang tunai. Entah kenapa, kartunya Arifi tertelan mesin ATM. Kami sempat menghentikan perjalanan sebentar dan mencari solusi. Arifi menelpon orang tuanya di Indonesia dan juga Agnese untuk sekedar memberi tahu. Agnese pun datang dan menghampiri kami untuk melihat situasi. Alhasil, ATM Arifi di blok dulu sementara, dan ia menarik uang dengan bantuan ATM salah satu dari kami. 

Agnese mengajak kami untuk jalan (lebih cepat) menuju Piazza Prato della Valle. Kami berjalan sekitar 1km dari tempat ATM tersebut. Piazza Prato della Valle sendiri merupakan alun-alun kota terbesar di Padova dengan luas 90.000 meter persegi berbentuk oval/elip. Dengan luas tersebut, alun-alun ini menjadi alun-alun kota terbesar di Italia dan menjadi salah satu yang terbesar di Eropa. Tepat di tengah-tengahnya terdapat air mancur kecil yang indah. Alun-alun ini juga dikelilingi kanal air dan alhasil membentuk sebuah pulau kecil. Pada bulan Agustus, saat sebuah ‘karnival’, Piazza Prato della Valle dijadikan sebagai pusat acara dan pada tengah malam, warna-warni kembang api bermain diatasnya.
Salah satu sudut kanal air Piazza Prato della Valle
Kolam air mancur yang menjadi titik 0 Piazza Prato della Valle
Selfie Srudits di Piazza prato della Valle
Kami mengambil foto dan video. Sayangnya, saat hari itu terdapat ‘pasar kaget’. Banyak mobil-mobil pedagang yang memadati alun-alun tersebut sehingga terlihat kecil dan tidak sedap untuk dipandang. Dari piazza, kami menuju Basilica di Sant’Antonio melewati Via Beato Luca Belludi. Sant’Antonio adalah seorang pastor Katolik sekaligus seorang biarawan yang lahir di Portugal dan meninggal di Padova. Ia terkenal akan ketaatannya dalam urusan agama, khotbah-khotbah yang ia sampaikan, perhatiannya kepada orang lemah dan fakir miskin, serta orang-orang yang sakit. Pada 16 January 1946, Sant’Antonio disematkan gelar ‘Dokter Gereja’.
Tampak luar Basilika Sant'Antonio
Untuk menghormati Sant’Antonio, dibuatkanlah sebuah basilika/gedung besar yang berfungsi sebagai tempat peristirahatan terakhir Sant’Antonio, sekaligus tempat beribadah. Masuk ke basilika ini, ada beberapa pengumuman yang ditulis dalam beragam bahasa. Intinya, para wisatawan yang datang tidak diperkenankan untuk mengambil foto, semua harus berpakaian yang sopan, tidak ada makanan dan minuman, menjaga ketertiban dan kesunyian, serta beberapa hal lainnya. Langit-langit basilika diukir cantik, kemudian diatas lantai, bangku-bangku tersusun rapi untuk digunakan umat Nasrani beribadah. 

Agnese mengajak keliling gedung tersebut. Ada sebuah peti mati yang menyimpan jasad Sant’Antonio. Di dekat situ, ada sebuah papan yang ditempeli foto-foto orang-orang yang sakit. Beberapa orang menempelkan foto anak mereka atau anggota keluarga yang sakit dan berdoa di samping peti mati tersebut memohon kesehatan. Basilika ini cantik dan besar sekali. Classic Europe. Di samping basilika, terdapat 4 halaman yang masih tergabung dalam satu kompleks yang sama. Kami mengunjungi 3 halaman searah pintu keluar.
Salah satu patung yang ada di salah satu halaman Basilika
Taman di Basilika, mirip di film Harry Potter.
Kami menghabiskan waktu hampir 1 jam sebelum akhirnya keluar dari basilika tersebut. Perjalanan dilanjutkan kembali ke arah pusat keramaian. Namun, di tengah perjalanan, kami mampir di salah satu toko souvenir untuk membeli oleh-oleh. Aku pribadi membeli 4 magnet kulkas totalnya EUR 10, dan 2 kartu pos yang masing-masing dibandrol harga EUR 0,5. Teman-teman lain pun juga tidak ketinggalan. 

Dari toko souvenir, kami melanjutkan perjalanan menyusuri jalan Via Del Santo dan berbelok ke Via S. Francesco. Kami bertemu lagi dengan Universitas Padova di jalan Via Roma. Namun, kami terus jalan ke tempat lain, yaitu ke Piazza delle Erbe. ‘Erbe’ memiliki arti herbs atau rempah. Yups, di Piazza delle Erbe ini terdapat pasar yang yang berjualan rempah-rempahan. Di salah satu sudut piazza, ada sebuah air mancur kecil. Kami pun duduk dipinggiran kolam dan makan siang. Makan siang kali itu adalah roti sandwhich isi irisan daging kalkun yang sudah disiapkan oleh Agnese sejak pagi. 
Piazza delle Erbe
Makan siang usai, kami beranjak jalan lagi ke Piazza delle Frutta dan terus ke Piazza dei Signori. Nah, di Piazza dei Signori ini terdapat sebuah menara tua yang diatasnya terdapat jam analog besar. Jam analog ini memiliki keunikan tersendiri.
Selfie di Piazza dei Signori
  1. Jam ini merupakan jam 24 jam, artinya dari jam 1 hingga 24. Bukan 12 jam seperti jam pada umumnya. 
  2. Angka 12 tidak berada diatas selayaknya jam biasa, melainkan di posisi angka ke-3 pada jam normal. 
  3. Angka 4 ditulis dengan menggunakan angka romawi: IIII, bukan IV. 
  4. Jam ini tidak hanya menunjukkan waktu, tetapi juga tanggalan dan bulan-bulan dalam setahun. 
  5. Tiap bulan juga ada horoscope-nya. 
Secara keseluruhan, ini adalah jam analog terlengkap, terkomplit dan terbesar yang pernah aku lihat.
Jam di Piazza dei Signori
Tampak jam lebih dekat
Setelah puas dengan perjalanan komplit di Padova, kami mulai melangkahkan kaki kami kembali ke stasiun kereta, berjalan paling tidak 1,5 km lagi. Kami melewati Caffe Pedrocchi, yaitu sebuah coffeeshop yang sudah ada sejak abad ke-18 Masehi. Sebelum benar-benar tiba di stasiun, kami mampir sejenak di McDonalds untuk membeli yoghurt dan milkshake-nya, sesuatu yang tidak ada di McDonalds Indonesia.
Yoghurt McDonalds
Muka-muka lelah sudah tidak bisa ditutupi lagi. Kami mengambil kereta jam 15.07 untuk pulang kembali ke Montebelluna. Sesampainya di stasiun Montebelluna, kami dijemput oleh Renato (host dad), sedangkan Agnese harus pergi ke sebuah rapat chapter AFS. 

Setibanya di rumah, kami leha-leha berbaring di kamar sambil bercerita. Shalat Ashar dan Dzuhur dijamak tidak dilupakan. Jam 5 sore, kami menuju dapur dan mulai memasak masakan Indonesia. Seperti yang sudah aku post di postingan sebelumnya, malam ini kami memang disuruh menyajikan kuliner Indonesia. Awalnya, ide kami adalah membuat 5 course meal lengkap dengan entree, appetizer, first meal, second meal dan dessert-nya. Namun, karena kekurangan bahan dan susahnya mencari bahan-bahan tertentu, alhasil rencananya kami rubah menjadi 3 course meal saja (gado-gado, nasi goreng dan sate, serta pisang goreng es krim). 

Pada dasarnya, kami semua bekerja sebagai satu tim dan mengerjakan bersama-sama. Akan tetapi, tiap-tiap makanan ada head chef-nya yang bertanggung jawab. Cila menyiapkan mayoritas bahan gado-gado dan bumbu-bumbu kacang, Putra dan Salsa menyiapkan nasi goreng, aku bertanggung jawab pada sate, Rana menyiapkan pisang goreng-nya, sedangkan tuan rumah Arifi sibuk manasin kerupuk di microwave. Untuk memasak semua makanan tersebut, diperlukan waktu selama 3,5 jam dan mengorbankan dapur yang semula bersih menjadi kapal pecah. 

Sebenarnya, kami bisa memasak lebih cepat lagi, namun kami memasak sambil menikmati, bernyanyi dan bersenda gurau. Ada celetukan saat itu yang menyebutkan fase-fase proses kami masak. Fase pertama adalah masak ala ala Farah Quinn. Motongnya dengan elegan, cuci sayurnya dengan gerakan tangan yang lihai, dan lain sebagainya. Memasuki pukul 6 sore, kami mulai mempercepat ritme kerja seolah-olah ada di program Masterchef. Akhirnya, jam 7.30 malam melihat sejumlah tamu telah datang dan ada beberapa makanan yang belum jadi, tempo dinaikkan lagi menjadi super cepat seolah-olah berada di acara Hell’s Kitchen. Yaaa.. begitulah kami!

Tamu terakhir datang bertepatan ketika proses plating sudah selesai dan dapur sudah mulai dibersihkan. Kami puas dengan penyajian dan ketepatan waktu. Malam itu, kami makan dengan Daniela (volunteer chapter Montebelluna), 2 orang tamu dari Lecce, Agnese, Sara (host sister Arifi) dan 2 teman Sara. Sebelum memulai makan, kami memberikan pengenalan terhadap makanan-makanan yang kami sajikan. Kemudian, kami duduk dan siap untuk mencicipi.
Gado-gado
Suapan demi suapan masuk ke mulut kami. Awalnya, hati kami berdebar-debar takut apabila makanan tersebut tidak cocok dengan mereka. Namun, tak disangka, piring mereka semua berakhir kinclong alias bersih sebersih-bersihnya. Segaris senyuman juga tercetak diwajah mereka. Kami bisa bernafas lega. Mereka memuji-muji masakan kami, dan tugas kami malam itu Alhamdulillah bisa tuntas. Sebagai hadiah, mereka membawakan kami fritelle yang tak kalah lezat dengan yang kami makan siang harinya.
Nasi goreng
Sate ayam
Setelah makan, para orang dewasa mengobrol sendiri dan kami yang duduk di bagian lain meja makan juga asyik sendiri. Awalnya kami hanya berbincang-bincang biasa, kemudian bermain game sambung lagu. Jadi game ini dimainkan bergiliran. Seseorang memulai dengan menyanyikan sebuah lagu dan diakhiri pada salah satu penggalan lagu tersebut, kemudian orang selanjutnya harus melanjutkan dengan menyanyikan lagu lain yang mengandung penggalan yang sama dengan lagu sebelumnya. Kami ngakak sejadi-jadinya ketika Putra mengakhiri sebuah lagu dengan penggalan: ‘hmmbff’. Sontak saja, seketika itu pula permainan berhenti dan hanya gelitik tawa yang mendominasi. Sejak saat itu, ‘hmbff’ menjadi tagline yang kami gunakan. 
Pisang goreng es krim

Bosan di meja makan, kami diperbolehkan menggunakan ruang main. Di ruang tersebut, kami kembali bernyanyi-nyanyi bersama. Putra bermain gitar. Kami bermain hingga mendekati tengah malam. Tukang tidur Makassar, Cila, pun sudah mulai terlelap. Alhasil, kami pun memutuskan kembali ke atas untuk tidur karena hari selanjutnya akan menjadi hari yang istimewa.


>>>> Photos by: Personal documentation of Aziz, Putra, Salsa, Cila, Arifi, Rana

Comments

Popular Post