2 Bulan di Negeri Orang

Post kali ini berdasarkan surat asli yang gua tulis di medium berbeda, ingin gua share disini hari ini, 9 November 2016, menandai 2 bulan sudah meninggalkan Indonesia.

Jam tanganku menunjukkan pukul 15.30, aku menunggu seorang teman di sebuah bar (bar disini merupakan coffeeshop). Bar kecil ini dapat menampung sekitar lima meja di dalam dan 9 meja di luar, dengan 4 kursi pada tiap-tiap meja. Hari itu, tidak seperti biasanya bar tersebut hampir sepi. Hening. Didominasi suara kipas angin di langit-langit ruangan dan suara rebusan air di mesin kopi.

Secangkir cappuccino dengan 2 sendok teh gula dan laptop menemaniku sore hari itu. Seperti biasa, sambil menunggu, aku mencoba menulis untuk post baru di blog-ku. Namun, entah mengapa, tiba-tiba saja aku stuck dan bingung menulis apa. Akhirnya, untuk memakan waktu, aku membaca kembali beberapa post-post yang sudah kuterbitkan selama mengembara di negeri ini.

-----------------------------------------
Italy bukan menjadi pilihan yang ada di 5 besar daftar negara tujuan. Ditambah lagi, aku ditempatkan bukan di kota besar seperti Roma, Milan, Palermo, Napoli, dll. Aku tinggal di sebuah pulau bernama Sardinia, tetapi orang-orang lebih banyak mengenal ibukota pulau ini yaitu Cagliari. Nah, sekali lagi, aku tidak tinggal di kota besar. Yups, aku tidak tinggal di Cagliari. Dari Cagliari, aku harus menggunakan kereta sekitar 1,5 jam ke tengah pulau bagian pesisir barat.

Kota ini bernama Marrubiu. Kota dengan jumlah penduduk sekitar 5.000 ini akan menjadi rumahku untuk sisa tahun pertukaranku 8 bulan kedepan. Jumlah penduduk di kota ini hanya 1% dibandingkan jumlah penduduk di kota asalku di Indonesia.

Aku telah mengalami banyak hal dalam waktu 2 bulan terakhir. Aku telah mencoba trekking di salah satu gunung di Marrubiu. Gunung ini tidak setinggi gunung Bromo, tetapi tantangannya tidak kalah dengan Bromo. Tanjakan terjal kulalui dengan langkah penuh hati-hati. Struktur tanah kering berpasir dan berbatuan menambah tingkat kesulitan. Host dad dan host brother yang turut serta sempat mengkhawatirkanku, tetapi tentu saja ‘aku bisa’. Hingga akhirnya, tibalah di salah satu puncak bukit tersebut. Aku terpesona dengan pemandangan yang disajikan. Warna hijau dari perkebunan anggur yang terbentang luas tak terukur, deretan bangunan-bangunan berwarna klasik, dan dibelakangnya merupakan lautan biru yang tak memiliki ujung.

Aku juga telah mengunjungi kota-kota lain di pulau ini. Kota-kota seperti Dorgali, Orosei, Gavoi dan lain-lainnya memiliki ciri khas yang berbeda. Gavoi dan Dorgali berada di kaki gunung, maka tak heran apabila jalanan di kota ini tanjakan atau turunan. Di kedua kota ini, bangunan-bangunannya tidak memiliki luas tanah yang lebar, tetapi meninggi. 3 sampai 5 lantai. Jadi, jika dilihat dari kejauhan, tampaklah seperti pensil-pensil yang disusun rapi.

Kota lain yang kukunjungi adalah Tharros. Tetapi kota ini tidak memiliki penduduk sama sekali. Tharros merupakan kota pada abad ke-8 SM. Kota yang memiliki pengaruh budaya Bangsa Fenisia dan Peradaban Romawi ini berada di Pantai Selatan semenanjung Sinis, yang membentuk tanjung utara teluk Oristano oleh Tanjung San Marco. Kini, bangunan-bangunan megah di kota tersebut hanyalah cerita.

Dibalik semua cerita-cerita menarik tersebut, tentunya ada pula pengalaman-pengalaman yang kurang mengenakkan. Kendala bahasa sempat membuatku tertekan. Keinginanku untuk bercerita banyak tentang Indonesia, atau hanya sekedar berbicara seputar kejadian sehari-hari tidak dapat tercapai.

Dari masalah bahasa ini, muncul juga beberapa kejadian-kejadian menarik. Mulai dari cukur rambut yang salah model, salah menjawab soal di sekolah, nyasar naik bus, hingga diundang ke acara ulang tahun teman tapi disuruh bayar biaya makan sendiri.

Ahh.. Bagiku, semua kejadian ini merupakan bagian dari pengalaman yang disuguhkan. Termasuk tinggal di sebuah kota kecil yang sangat amat susah mencari kegiatan. Minggu-minggu pertama, dengan ketatnya aturan tidak boleh pergi kemana-mana sendiri, kendala bahasa, semua itu membuatku bosan tinggal di rumah terus-terusan.

Tetapi, seiring berjalannya waktu, perlahan-lahan semua mulai bisa kunikmati. Dan bagiku, tidaklah penting dimana aku ditempatkan, selama ada keluarga dan kerabat yang menerimaku dengan baik, maka aku sudah merasa seperti di rumah. Alhamdulillah, aku cinta dengan keluargaku disini. Dan kuharap, akan bertambah 8 bulan kedepan.
------------------------------------------
“Ciao Aziz, andiamo!” (Hi Aziz, ayo jalan!). Juan Domingo dengan logat khasnya memanggilku. Sontak, kututup laptop ku, membayar cappuccino yang sudah dingin sejak 15 menit yang lalu, dan segera pergi meninggalkan bar.

Juan Domingo dari Kosta Rika dan Vanda dari Thailand sudah menungguku untuk pergi bersama ke kursus bahasa Italy yang disediakan AFS. Oh ya, salah satu hal yang tentunya tak bisa dilupakan, aku sangat senang memiliki sahabat dari berbagai macam negara!

Comments

Popular Post